Chapter 5

24.7K 3.5K 239
                                    


Perjalanan menuju Rumah Gaya, tempat fitting baju, menjadi perjalanan terseram menurut Agisa Barata.

Seperti mendapatkan penyiksaan double combo! Sejak tadi, Gisa cukup tegang berdampingan dengan Ibu Daniyah. Mereka tak bicara apa pun. Demi adab, Agisa enggan menciptakan pengalihan. Gadi pun tak banyak membantu, laki-laki itu berkonsentrasi penuh menyetir. Ajakan bicaranya hanya sekali-dua kali.

Demi menghibur diri, Agisa membayangkan tengah berendam berdua bersama Gadi di laut Maldives yang berwarna turquoise.

"Oh, yah," Ibu Daniah bersuara. "Ibu mau tanya..."

Kalimat pembawa penyiksaan baru untuk Gisa. Hancur sudah bayangan tentang bulan madu. Apalagi, Ibu Daniyah memegang tangannya. Baru kali ini, genggaman seorang ibu rasanya seperti terkaman harimau.

"Gisa yakin ingin menikah dengan Gadi? Nggak menyesal?"

"Kenapa Ibu nanya gitu?" Mata Agisa membola penuh tanya. "Memangnya Kak Gadi kenapa, Bu? Kak Gadi nggak homo, kan, Bu?"

Tanya berbalas tanya. Ibu Daniyah gemas. Dia cubit pipi Agisa. Lengkap dengan ekspresi wajah gregetan.

"Ibu!" tegur Gadi, pelan. Dilihatnya Agisa mengusap pipi. Menunduk.

Wanita itu menarik napas. "Ibu gemas, ih!

"Ya, ibu sabar. Gisa anaknya memang spontan."

"Ya..., maaf. Hanya cubit, nggak bikin lecet, kok." Daniah kembali memusatkan perhatian pada Agisa. Sekarang, gadis itu tengah memelintir jari di atas pangkuannya. "Jadi, gimana? Gisa kenapa yakin sama Gadi? Kami hanya orang biasa. Nggak punya apa-ap-eh, kok, kok nangis?"

Mula-mula hanya bahu naik-turun. Detik berganti, tangisan Agisa setapak-setapak menanjak hingga tak dapat dibendung lagi. Dia menangis lepas. Tak peduli pada keadaan. Persetan dengan kesopanan, Agisa sakit hati.

"Duh, Gadi, Ini bagaimana? Apa ibu salah bicara?" Ibu Daniah panik. Dia bahkan sudah menyapu bahu Gisa. "Cubitan ibu sakit, Nak?" tanyanya, polos.

Alih-alih menjawab, Agisa malah sesenggukan di kursi.

Mendapatkan tempat, Gadi menepi. Dia keluar, mengitari mobil lalu membuka pintu tepat di mana Agisa duduk. Gadi tak menyalahkan Daniyah. Dia tahu ibunya bukan tipe wanita jahat ala sinetron Indonesia. Kurang lebih, ibunya seperti Agisa: spontan. Hanya terkadang, spontanitasi Daniyah mengundang masalah.

"Aduh! Sakit banget, ya? Padahal Ibu nggak nyubit keras. Sumpah! Itu hanya cubitan gemas-Gadi tahu, kan, sama kayak waktu ibu nguyel-nguyel si Rio."

Sebelum Gadi menenangkan situasi, dilihatnya Agisa mengangkat kepala, menyorot Daniah dengan mata sarat luka.

"Ibu nggak suka Gisa, ya?" gadis itu menyuarakan isi kepala. Daniyah langsung salah tingkah. "Walaupun Ibu nggak suka, Gisa tetap akan nikah sama Kak Gadi!" kukuhnya. Beralih pandang pada Gadi. "Anterin Gisa pulang!"

***

"Ha ha ha."

Suara Bara mengema seantero ruang keluarga rumahnya-menyusul suara Namira. Dua orangtua itu tengah mendengar kronologi kejadian beberapa jam lalu.

Bara memang tak marah. Dia kenal siapa Daniyah. Wanita tua mungil yang dulu sempat datang ke kantor dan marah-marah karena anaknya tidak dibiarkan pulang hingga jam sembilan malam.

Tanpa bermaksud melecehkan, Bara akui bahwa untuk kelas orang berlatar belakang finansial lemah, Ibu Daniyah tergolong sangat berprinsip. Hanya karena Gadi sukses di dalam tangan Bara, bukan berarti wanita jadi berlebihan 'menyembah' keluarga ini.

Decision!حيث تعيش القصص. اكتشف الآن