Chapter 8

24.3K 3.5K 213
                                    

Agisa terbangun tiba-tiba. Ia duduk tegak dalam bekapan selimut tebal sedada. Pandangan yang blur berangsur-angur jernih seiring kerjapan mata. Pintu terkunci, jendela masih tertutup. Bunyi deru AC menjejali hening ruang. Dalam tempo semenit, Agisa baru sadar bahwa dia sendirian di kamar ini.

Ada ombak di dalam perut. Bergulung-gulung, menimbulkan efek mual bagi Agisa. Ketakutan mulai berkecamuk. Menurut artikel yang dia baca, sebagian besar laki-laki akan tinggal lebih lama di tempat tidur usai melewati malam pertama hebat. Sebab, mereka tidak ingin kehilangan momen pertama menyambut hari bersama istri.

Tapi..., pagi ini, Agisa terjaga tanpa Gadi....

Kepanikan mencekam Gisa. Irisan-irisan scene semalam berotasi di kepala: dinner yang dilewati penuh sukacita, senyum lebar dirinya dan Gadi, tawa ceria seluruh anggota keluarga dan kerabat yang datang. Paling penting, bagian membuka kotak rahasia yang sudah dilaluinya bersama Gadi di satu jam sebelum ritual malam pertama mereka.

Rasanya, semua terlewati dengan baik. Gadi tidak menunjukan keanehan signifikan. Mula-mula, alis lelaki itu meninggi, keningnya bergelambur, lalu begitu cepat ekspresinya bertukar. Agisa hitung hanya satu menit hening membungkam lelaki itu, tapi kemudian senyum tulus kembali tersungging bersama satu kecupan ringan yang Gisa terima. Kecupan yang menjadi scene pembuka episode panjang malam pertama.

Tapi, sekali lagi, Gadi tidak ada di sini. Tidak repot-repot menunggunya terbangun lalu mengucap sepatah duapatah kata-seperti ekspetasi Agisa selama ini.

Semoga, ini bukan pertanda buruk. Bukankah, Gadi baik-baik saja semalaman tadi? Di akhir, dia bahkan mengecup kening Agisa dan bilang cinta.

Agisa bergegas ke kamar mandi. Dia ingin membersihkan diri dari sisa kelembaban semalam. Mungkin, air dingin membatunya berpikir dari sudut pandang paling jernih.


***

"Cie, yang telat bangun," goda Zoya.

Persis seperti tebakan Agisa. Dia akan melewati hari penuh tikaman ledekan. Baru menjejakkan kaki di taman, cerlingan mata genit menyerangnya dari kursi-kursi rotan di bawah jejeran pohon kersen tempat keluarganya sarapan pagi itu.

Namira menggoda, "Masih sempat salat subuh kan, Nak?"

Dalam deskripsi novel-novel romansa, pengantin baru yang menerima ledekan jenis ini akan tersipu-sipu malu. Namun, memerani sendiri fragmen ini, sensasi yang Agisa rasakan seperti tengah ber-bungy jumping; didorong dari titik tertinggi lalu merasakan sensasinya yang tidak pernah bertemu ujung.

"Suami kamu memang Ragadi, laki-laki paling lembut yang Papa kenal," sambil bicara, Bara menyuapi potongan buah kiwi pada dua cucu kembar dalam pangkuan Namira. "Tapi, jangan sampai kamu jadi perempuan yang semena-mena bersikap. Ingat, layani suami itu hal wajib, Gis."

Petuah pertama di hari pertama menjadi istri. Agisa mengangguk paham. Topik ini lebih baik ribuan kali daripada harus diperolok soal malam pertama.

Kaisar mengibas tangan tak setuju. "Baru hitungan jam Agisa jadi istri, Pa. Apa salahnya dia senang-senang?"

"Loh? Nggak ada yang larang dia senang-senang. Ini dua topik yang berbeda, Kaisar."

Decision!Where stories live. Discover now