Chapter 7

26K 3.6K 306
                                    

Cek Mulmed bos. You're the reason., Aku suka lagu itu yang di-cover temenku. Tapi sayang hanya kurekam pakek Hp, dan blm ada waktu edit videonya. Bagus deh. Lirik sederhana tapi nyetrum.


***


Tepat duapuluh tahun lalu, Barata bertemu seorang anak laki-laki berseragam SMP di gerbang kantor. Anak itu mendekap sebuah besek bambu berisi dagangan. Ia menjajakan pada satpam, namun, gerakan pengusiran yang diterima lantas mengurung niatnya. Anak itu berbalik haluan menyisir sepanjang jalan; menawarkan dagangan pada satu-dua pejalan kaki.

Lewat tangkapan pemandangan itu, Bara mengulang memori semasa kecil. Pria itu seolah melihat diri sendiri dalam wujud anak SMP dengan baju seragam kekuningan, kaos kaki buluk yang longgar dan diberi karet sebagai penahan di ujung agar tak melorot.

"Pak Akmal, saya bisa minta tolong panggilkan anak itu?" perintahnya pada satpam kantor. Sejak tadi, Bara memang berada di pos satpam dekat gerbang, setelah makan siang, beliau terbiasa mengajak tiga satpamnya bermain domino batu.

Punggung anak itu semakin mengecil seiring langkahnya menjauh. Pak Akmal menyusul dalam langkah tergesa. "Sini!" teriakan keras itu berhasil menyetop ayunan kaki.

Sedikit tergopoh, anak itu menghampiri. Wajahnya pucat kesi. Tampak begitu ketakutan. Bahkan setelah Pak Akmal merangkul pundak sambil menggiringnya kembali ke post satpam pun kakinya memberat seolah takut diadili untuk sebuah kesalahan.

"Nama kamu siapa?" Bara memerhatikan anak itu.

"Ragadi Tungga Putra, Pak," jawabnya, gelagap.

"Kok jualan? Nggak sekolah?"

"Baru pulang."

Bara menganggut. Dia menyoroti besek bambu itu yang tertutup kain. Penasaran apa yang isi dagangkan anak itu. "Kamu jualan apa?

"Kue Celorot, Pak."

Mata bara melebar. Tangannya memberi kode agar anak itu mendekat lalu dengan tak sabar menyibak kain penutup besek. Bara lantas tersenyum lebar. "Ini kue clorot khas Purworejo. Dulu, nenek saya selalu bawa ini setiap bertandang ke Jakarta." Laki-laki itu mengambil satu, sempat tertawa-tawa mengenang masa kecilnya lewat tampilan kue berbentuk kerucut itu.

Dalam gigitan pertama, Bara memejam, seolah menikmati perpaduan lelehan gula merah dan tepung sagu di ujung lidahnya. Bara sampai tak sadar, dalam lima menit, delapan buah kue sudah ia habiskan.

"Eh, kalian, ayo dimakan. Saya yang bayar," ajaknya murah hati. Sempat-sempatnya Bara menertawai para satpam yang menyalahi tata cara membuka kulit kue. Mendadak, Bara menjadi tutor mereka.

Isi besek kosong. Ragadi-meski masih menunduk, tapi tak kuasa menahan senyumnya.

"Berapa totalnya, Nak?" Bara bertanya setelah meneguk air mineral yang baru diberi Pak Akmal.

"Per kue, 500 Rupiah, Pak. Tadi, ada 29 buah. Totalnya Rp.14.500."

Bara memberikan selembar uang 20ribu dengan pesan bahwa kembaliannya diambil saja.

Ragadi tampak meraba saku seragam sekolahnya lalu mengeluarkan uang lima ribu. "Saya hanya punya ini. Besok, saya janji, sebelum ke sekolah, saya antar uang kembaliannya."

Decision!Where stories live. Discover now