Chapter 17

23.9K 3.8K 910
                                    

Jenis feedback yang paling aku suka adalah: komentar di setiap part yang aku post. Terima kasih sudah berkomentar panjang lebar dengan berbagai analisa. Senang sekali. :D

Aku baca komen kalian sambil senyum, kadang juga ikut baper, dan sedih. Hehe. Bahkan, aku baru ngerasa greget sama tokoh aku sendiri lewat deskripsi kalian di komen. trus, aku suka SS dan dijadiin snap di Instagram pribadiku. Mwehehe

Btw, aku nggak larang kalian untuk berekspresi—bahkan sampai dalam bentuk cacian sekalipun karena mungkin kesel sama tokohku. Tapi, jangan tinggalin lapak ini krn kesel, ya :D
Emosi diaduk teraduk itu biasa.:P

Abis ini, aku ada urusan ngerekap data. Udah diamuk sama pembeli. Dikira nipu krn ga balas2 chat mereka. Haha. Klo ada waktu, akan dilanjutkan.
Selamat membaca!

***

“Mau sarapan apa?” Zoya membelai kepala Agisa di atas pangkuannya. “Mbak bikinin?”

Gelengan.

“Nanti siang, pulang, ya? Kita nggak bisa terus-terusan ngumpet. Kalau abangmu tahu, Mbak bisa kena marah. Dikira ngajarin kamu hal yang nggak-nggak.”

Semalam, Agisa menginap di sini. Beruntung, Kaisar pulang jam satu malam. Tidak sadar bahwa adiknya  menjadikan rumah ini sebagai markas bersembunyi. Mobil Gadi pun harus diparkir agak jauh. Bukan apa-apa, Kaisar memang agak keras. Kalau dia tahu, Agisa langsung diantar pulang detik itu juga. 

“Kalau gitu, Gisa nginap di hotel aja.”

Zoya berdecak tak setuju. “Nggak bagus gitu. Kamu itu menikah. Kalau berantem, nggak pantas kabur-kaburan lagi.”

Kejadian semalam, Agisa tidak membaginya dengan siapa pun. Tapi mungkin benar, perempuan lahir dilengkapi detektor rasa; bisa mendeteksi keadaan ganjil sekeliling. Zoya buktinya.

“Coba jujur sama Mbak, kalian kenapa berantem?” tuntut Zoya, berusaha mengorek.

Helaan napas pertanda luluh. Selain tidak pandai mengelola emosi, Agisa juga murah hati menguak isi peti rahasianya. Delapan menit, lidahnya fasih me-reka ulang kejadian.

“Astaga, Agisa! Kalau info ini sampai bocor ke telinga abang atau papamu, habislah!” Zoya geleng-geleng, tidak setuju dan tak habis pikir bersamaan. “Ah, Mbak lupa, di Amerika, membentak orangtua itu biasa saja, ya, Gis? Tapi... kamu di Indonesia, loh. Nggak nyangka aja bisa begitu ke orangtua.”

Itu artiya Zoya baru saja menyinggung soal kualitas Agisa. Perempuan itu menyungging senyum getir. Apa Zoya lupa? Kadar intelektual seseorang, hanya memengaruhi cara berpikir, juga bersikap. Tidak ada hubungannya dengan aplikasi emosi.

Tidak ada jaminan, Albert Einstein akan diam lalu memberi medali pada orang yang meludahi wajahnya berulang kali bukan?
  
“Kalau Mama ngungkapin harapan, pengin Abang nikah sama perempuan lain, di depan Mbak, berulang kali, mungkin Mbak akan dapat jawaban kenapa Gisa semeledak itu.”

“Ya, ngerti, maksud Mbak—”

“Itu belum selesai,” potong Agisa. “Bagian terburuknya. Mama menunjukan kedekatan dengan perempuan itu setiap harinya. Plus, terang-terangan membandingkan Mbak dengan dia.” Tekanan di setiap kata. “Apa Mbak masih kuat untuk tetap bijaksana?”

Perang sarkasme.

Jawabannya mungkin, Zoya tidak akan sekekanakan Agisa: banting kue ulangtahun, menangis, lalu kabur. Tapi, dia yakin akan langsung minta cerai. Detik itu juga.

Decision!Where stories live. Discover now