Chapter 9

26.3K 3.1K 273
                                    

Part ini gue ketik pakek lagunya Melamarmu dari Badai. Sakralnya dapet. Mwhehe. Cobalah baca sambil hayati. Niscaya celana Anda akan kuyup. Hahaha. Maksudnya kuyup karena ngeces gitu. Pengen nikah bruakakka.

Iya, masih datar. Gue suruh kalian napas dulu. Bab 10 ke atas, gue mulai tabur pasir di lubang hidung kalian. Sampai bab 20-an gue ganjel kerikil sampe kalian ga bisa nafas. Wakakak. Tapi, enggak kok. Konfliknya masih seputaran rumah tangga aja sih.
Jadi, nikmati yah :D

***

"Saya boleh minta ijin bawa Gisa ke rumah Ibu? Menginap, sehari dua hari di sana. Nanti, saya pulangkan hari Sabtu pagi."

Pentas lawak baru saja diperani Ragadi. Suara tawa melahap ruang keluarga. Bak efek domino, gelombang geli menyapu satu per satu manusia di situ. Agisa apalagi. Memerhatikan Ragadi berpijak dalam geming kebingungan, dia terpingkal hingga romannya memerah.

Kenapa sopan sekali?

Dua pekan pernikahan dilintasi penuh taburan kejutan dari Gadi. Semua bersumber dari sikap uniknya. Resepsi minggu lalu, para tamu dibuat geleng kepala gemas. Saat diaba-abakan mencium Agisa, Gadi malah berpaling pada Bara dan Kaisar, seperti biasa, mengirim mohon. Pun, saat eksekusi, bibirnya mendarat superringan di atas bibir Agisa. Seolah takut ciuman itu akan merenggut nyawa istrinya.

Betapa hati-hati lelaki itu mengaplikasikan naluri prianya. Agisa sebal-tapi gemas bersamaan.

"Ragadi. Semenjak Ijab kabul, hak saya atas Agisa tinggal 10%. Sisanya milik kamu."

Mengamini komentar Bara, Ragadi mengangguk.

Mungkin, tanpa perlu mendetilkan pun Gisa yakin Ragadi paham soal kalkulasi hak atas seorang suami ke istri atau ayah ke anak pascamenikah. Hanya saja, Gadi memang seperti itu. Tak bisa berinisiatif sebelum mendapat anggukan setuju dari Bara.

"Oke. Gisa pergi ke rumah Ibu mertua dulu, ya?" Perempuan berterusan merah muda itu mengecup pipi orangtuanya. Lalu kembali menggandeng Gadi.

"Ingat, jangan aneh-aneh di sana. Jangan bikin Ibu mertua kesal."

"Siap, KomanMoms!" pekik Agisa diikuti gerakan hormat.

Namira berpaling pada menantunya. "Gadi, jangan manjain dia. Kalau dia bandel, jewer saja."

Tersenyum, lengan Gadi mengapit bahu Agisa dengan gerakan paling sopan. Telapaknya menyapu-nyapu pelan. Hanya tingkah sederhana tapi Namira dan Bara bisa melihat jaminan perlindungan di sana.

"Saya janji, nggak akan sakitin Agisa seujung kuku pun. Lillahi ta'ala. Potong jari saya kalau saya gunakan untuk nyakitin dia."

Dasar Gadi. Namira mendengkus, lalu geleng kepala. Sementara Agisa mengembungkan pipi. Gadi bahkan tidak bisa mencandai topik seperti ini.

"Ya sudah." Bara bangkit dari sofa. Terus-terusan menjadi penonton kelembutan Gadi, dia merasa seolah jadi ayah dan suami paling kasar selama ini.

"Kalian pergi lebih pagi, biar Agisa bisa bantu-bantu masak. Jangan biasakan dia terima enak saja. Bentuk dia supaya lebih mandiri."

Gadi mengangguk tanpa beban. Seseorang di sebelah lantas mengalungkan tangan ke pinggangnya. Pipi putih yang semalam Gadi belai itu mendarat ke dada.

"Makasih Papa. Jangan pernah bosan nasihatin anak-anak Papa ini." Agisa mendongak. "Makasih juga untuk Kak Gadi, mau terima Gisa dan tetap coba jadi suami yang baik untuk Gisa." Dia berjinjit lalu mengecup pipi lelaki itu.

Decision!Where stories live. Discover now