8. Perihal mengenal

311 94 13
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



Lapangan kali itu penuh, dikelilingi oleh barisan siswa-siswi berseragam putih-putih, mungkin jika sabuk tidak berwarna hitam serta topi abu, sudah terlihat seperti kumpulan salju.

Menunduk seraya memejamkan mata, jika mengangkat kepala pandangan akan menjadi silau --berwarna hijau-- entah mengapa bisa begitu, namun itu seakan menjadi wajar karena sang surya tidak berbelas kasih memberikan cahaya teriknya ke bumi.

Beruntung sungguh beruntung, Zinara punya kebiasaan menjadikan ikat rambut sebagai gelangnya, hal itu sangatlah menguntungkan baginya. Kan Zinara tak merasa tersiksa akibat helaian rambut yang menempel pada leher akibat keringat yang derasnya bak air terjun. Satu lagi, Zinara terbilang memiliki tubuh yang tinggi untuk orang Indonesia, dan dengan alasan tinggi badannya, gadis itu tak diharuskan berdiri di barisan depan.

Berbeda halnya dengan Abi, gadis yang berdiri di barisan ke-tiga itu menampakkan wajahnya yang lusuh. Terus menggerutu karena cuaca terik yang seharusnya tak menjadi sasaran kesalnya. Pasalnya gadis itu baru saja memakai tatanan rambut baru --ide dari Agnes-- yang menjadi kunci kekesalannya.

Omong-omong Agnes, gadis itu rupanya anteng di barisan depan. Tidak terdengar keluhan seperti siswi lainnya yang riasannya luntur. Tubuh Agnes lebih mungil dari mereka yang menjadikannya terus mendapatkan posisi baris terdepan.

Anna, gadis itu tak kalah heboh. Sialnya ia lupa membawa ikat rambut, entah bagaimana bisa benda itu tertinggal padahal panasnya tidak bisa diajak kompromi.

"Panas banget ih," keluh Anna mengipasi wajahnya dengan tangan. Melirik Gibran yang tak terusik di sampingnya --mereka berada di belakang Abi berdiri.

"Jangan berisik dulu, nanti kena teguran aku juga yang kena," bisik Gibran tanpa mau melihat lawan bicara.

Kembali lagi dengan Zinara yang menghela nafas panjang. Berada di barisan terbelakang bukan berarti ia bebas dari sorotan matahari, Zinara masih terkena panas.

"Lo tau, Ta, pembinanya Pak Seno loh." Zinara berbisik, sedikit menyongdongkan tubuhnya ke samping kiri dimana Genta ada di sana.

"Gue bisa liat," sahut pemuda bertopi itu.

Bukannya apa, Pak Seno jika sudah pidato lamanya bisa dibuat arisan jika dikasarkan. Bagaimana muridnya tak bosan jika pembahasannya hanya itu-itu saja. Kebersihan kelas, disiplin lah, hanya berputar-putar di situ saja. Memang ajaib guru sejarah itu.

"Lo bahkan udah tau apa isi pidatonya dan gak kepikiran buat kabur gitu?"

Siapapun akan berpikir begitu, namun tak ada yang punya nyali besar. Ketatnya kedisplinan SMA Cakrawala membuat nyali anak murid ciut. Terlebih jika yang menegur Bu Mae --guru sosiologi yang punya mata besar serta tubuhnya yang gembrot-- membuat siapa saja akan meringis meski hanya baru ditatap.

"Ada, tapi ngeri liat Bu Mae," akunya jujur sekali. Tuhan, Zinara rasanya ingin meremas wajah Genta saja karena gemas.

"Padahal gue udah dapet ide. Lo mau nggak bantuin gue?"

Cuma Teman [TERBIT]Where stories live. Discover now