14. Keanehan Bela

250 75 60
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





"Disuruh cari cewek buat jadiin istri, ini malah yang muncul asisten rumah tangga," keluh Zinara malam itu.

Baharja menyesap kopi hitam yang masih mengepulkan asap putih tak kasat mata, menghiraukan keluhan putrinya. "Papa enggak denger," sahut lelaki itu.

Daniel mengambil duduk di samping Zinara di sofa ruang keluarga lantai dua, meraih bantal untuk ia peluk. "Dek, cari jodoh enggak segampang minta kembalian waktu beli kerupuk di warung belakang sekolah," tuturnya sambil memainkan gawai, sesekali terkekeh bahkan terkikik sendiri membuat Zinara merasa jijik.

"El?" panggil Papa.

Daniel menoleh begitu juga dengan Zinara. "Kalo satu pendapat besok bayarin uang bensin El," katanya seraya mengacungkan jabatan tangan.

Papa terbahak sedikit sebelum menerima uluran tangan anaknya. "Kan biasanya juga Papa."

Zinara menatap sinis dua lelaki berbeda usia itu secara bergantian. "Dih curang banget," protesnya. "Mentang-mentang belain Papa dikasi gratisan, padahal kemaren nuntut biar Papa cepet cari istri juga," selorohnya berlanjut.

"Harap jangan iri." Daniel mengembangkan senyum bangga.

"Emangnya kamu enggak takut kalo punya Mama tiri?" tanya Papa.

Sontak dua saudara itu saling menatap satu sama lain dengan kerutan yang tercetak di kening, Zinara tidak paham dengan ucapan Papanya itu. "Kenapa harus takut?"

"Pasti kamu enggak baca cerita Cinderella ya kan?" tuding Baharja. Merasa paham, Daniel terbahak keras sambil memukul-mukul bantal.

"Papa ih, enggak lucu ya." Zinara membuang asal bantal sofa, lanjut bangkit berdiri. "Aku mau keluar cari martabak."

"Sendirian?" tanya Papa. Zinara mengangguk.

"Kamu baru aja sembuh loh, dek." Kini giliran Daniel yang bersuara.

Zinara mencuatkan bibir, berdecak kesal. "Emangnya kenapa sih kalo baru sembuh? Liat nih." Menghentak-hentakkan kakinya di lantai, Zinara hanya ingin menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. "Nah kan udah enggak apa-apa."

Butuh beberapa hari untuk memulihkan luka di lututnya. Meski bekasnya belum sepenuhnya hilang, nyeri yang terasa berkurang sakitnya pun sudah cukup bagi Zinara.

"Abang anter aja ya?" tawar Daniel, melirik Papa meminta dukungan yang segera dibalas anggukan kepala. "Sekalian beliin buat Dania juga."

"Tuh kan." Zinara menghempaskan tubuhnya kembali ke sofa, mendadak malas berdiri. "Tapi ... Ya udahlah. Ayo, Bang, udah laper nih," lanjutnya berdiri lagi.

Daniel geleng-geleng kepala, bangkit berdiri dan menyempatkan untuk mengambil kunci motor di dalam kamar adiknya sebelum keluar dari rumah.

Sepanjang perjalanan Zinara diam saja, atau lebih tepatnya asyik menikmati udara malam hari. Tangan gadis itu sengaja rentangkan membuat angin leluasa masuk ke sela-sela kulitnya yang putih tak tertutup kain. Kabar baiknya jalanan pada malam itu tidak terlalu ramai oleh pengendara yang berlalu lalang, Zinara jadi suka karena ia bisa leluasa menikmati udara tanpa takut polusi akan ikut masuk ke dalam tubuhnya.

Cuma Teman [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang