20. Peluk

295 69 43
                                    

"Kadang memang tampang baik belum berarti baik juga dalamnya."


"

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.



Langit menggelap, awan hitam bergerak tergiring, kini giliran rembulan yang mengambil alih, menyinari bumi dengan cahaya terindahnya. Tiga puluh menit lalu Zinara baru kembali dari taman kompleks, tanpa terasa atau mungkin terlalu terbawa suasana duduk berdua di bawah naungan langit jingga bersama Genta, sampai lupa waktu sudah lewat dari pukul enam sore.

Zinara telah menyelesaikan ritual mandinya, mengenakan piyama, surai hitam yang menjuntai lurus ke bawah tak ia ikat sebab baru diberi vitamin rambut. Sesuai pesan dari Papa saat kembali sore tadi untuk makan malam bersama, Zinara memutar knop pintu, melangkah keluar kamar.

Pandangan yang mendominasi ruang tengah yang digabungkan dengan dapur di lantai dua yaitu kosong. Kening gadis itu mengerut, bukankah seharusnya terisi oleh penghuni rumah?

"Pada kemana?" monolognya menghampiri meja makan yang kosong melompong.

"Di bawah, Non!" Suara Bi Dedeh menggema dari ujung tangga bawah sana.

"Kenapa enggak bilang dari tadi." Zinara berdecak, bergumam tak terima, padahal ia tidak dirugikan. Gadis itu bergegas menuruni tangga.

Seharusnya Zinara ingat jika lantai satu digunakan hanya saat ada tamu datang berkunjung saja, tetapi ia abai. Menuruni anak tangga tanpa beban, kepalanya yang merunduk memperhatikan ponsel, sampai suara familiar khas seseorang hinggap di indera pendengarannya.

Zinara mendongak, bertepatan dengan pandangnya yang tertuju pada meja makan, senyum dari manusia menjengkelkan ia dapat. Terkejut tentu saja, bahkan kakinya tak menapak di anak tangga dengan benar. Hampir saja kakinya kembali menjadi korban jika tidak cepat meraih pegangan tangga untuk menyeimbangkan tubuh.

"Biasa aja, Dek, liatnya, jangan salah tingkah sampe mau jatuh gitu," ucap Daniel menggoda, yang mampu menyadarkan Zinara dari keterkejutannya.

Dua orang bagian dari makan malam terkekeh, Zinara mendengus kesal. Turun dan bergabung dengan yang lainnya, namun tatapan tajam terus ia berikan pada tamu yang menjadi alasan mengapa makan malam dilakukan di lantai satu--Oji.

"Ini anak kenapa ada di sini, Pa?" tunjuknya dengan jari telunjuk lurus, satu sudut bibirnya tertarik ke atas, memberikan kesan ketus dan pasti tak suka.

"Tangannya turunin," tegur Papanya, Zinara menurunkan jarinya lengkap dengan wajah meluruh.

Oji mengulas senyum, jika dari pandangan Zinara itu senyum penuh kemenangan. "Nyokap suruh anter kue buat Om Eja," tuturnya tanpa diminta.

Zinara hanya menanggapinya dengan satu alis yang diangkat, lantas mengambil duduk di samping Daniel--berseberangan dengan Oji. Acara makan malam dimulai, suara dentingan sendok yang beradu dengan piring memecah kekosongan. Bukan canggung, tapi ini adalah cara Baharja yang sudah sejak kecil ia terapkan pada anak-anaknya untuk tidak bicara saat sedang makan, hingga makam malam rampung terlaksana.

Cuma Teman [TERBIT]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant