"Saya pastiin pertandingan kali ini adil, Pak. Enak aja di kandang orang maen curang," ujar Genta menggebu-gebu.
Pak Damar terkikik geli, menepuk-nepuk punggung atas anak muridnya. "Tunjukin seberapa kuatnya Cakram," katanya lalu bangkit, berlalu pergi.
Genta merunduk, menarik ponsel dari ransel hitam yang cukup besar berisi beberapa ponsel milik anggota lainnya yang dikumpulkan menjadi satu. Menghidupkannya lantas segera mencari nomor Bela, mendial berulang kali namun tetap tidak mendapat jawaban.
"Lo kemana sih, Bel?" gumamnya lalu menyimpan kembali gawai ke dalam ransel, menutup resletingnya.
Jika ditanya apakah Genta mengkhawatirkan Bela, tentu jawabannya adalah iya.
Setelah tahu apa yang terjadi dengan gadis yang pernah tumbuh di naungan atap yang sama, rasa tanggung jawab Genta seakan keluar. Memastikan bahwa Bela akan selalu aman jika ia terus bersamanya, itu yang Genta katakan pada Bude.
Kepala Genta mendongak, sebentar lagi pertandingan final akan dimulai, pemuda itu bangkit. Mengikuti naluri, pandangan Genta tertuju di satu titik di mana Zinara duduk dengan bibir ditekuk. Mungkin merasa bersalah karena telah menuduh yang tidak-tidak.
Antara sadar dan tak sadar Genta mengembangkan senyum yang tentu menyambar pada Zinara. Kata semangat keluar dari mulut gadis itu, meski tak bisa didengar, dari gerakan bibirnya kata itu cepat menjalar ke dalam tubuh, memberi semangat.
Peluit dimulainya pertandingan akhirnya ditiup kencang, Zinara di kursi tribun tidak berhenti merapalkan doa agar Cakram juara. Namun, tubuhnya tersentak kaget kala tangannya ditarik tiba-tiba oleh buah tangan.
"Eh?" Zinara mengalihkan pandangan, menatap lengan yang dicengkeram Oji. "Ngapain sih lo ih? Enggak ada kerjaan lain selain ganggu gue?" tanyanya nyolot.
Anna, Abi dan juga Agnes saling melempar pandang lantas sama-sama mengedikkan bahu. Tahu jika Oji sering sekali melakukan hal yang membuat Zinara kesal, jadi mereka kembali fokus ke pertandingan yang tengah berlangsung.
"Gue bawa laptop," kata Oji, menunjukkan tas jinjing hitam yang berisi laptop.
Kedua alis Zinara terangkat. "Terus apa urusannya sama gue? Awas ah gue mau nonton suami gue juga," omelnya berusaha menyingkirkan tubuh Oji dari hadapan.
Oji berdecak, lebih menarik lengan Zinara sampai empunya bangkit berdiri. "Gue tau Genta khawatir sama Bela, maka dari itu lo bantu gue lacak keberadaan Bela. Lo mau kan Genta tenang?"
Mulut Zinara membuka kecil, berpikir sesaat lantas mengangguk. "Ya udah ayo," putusnya.
Melihat Zinara yang meninggalkan kursi bahkan balon tepuknya, Abi tertarik untuk menahan tangan Zinara yang bebas. "Mau kemana? Enggak nonton?"
"Enggak dulu, mau berkorban buat masa depan," jawabnya ngasal. "Bi, suruh Anna buat rekam pertandingan nanti kirim gue-- ah sabar elah!"
Tangan Zinara terus ditarik tanpa henti, Oji yang melangkah lebar seakan lupa jika Zinara tidak memiliki kaki sepanjang dirinya.
"Orang gamon gini amat," celetuk Zinara.
Refleks Oji menghentikan langkah juga dengan tarikan tangannya. "Enggak," ucapnya menolak tuduhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cuma Teman [TERBIT]
Teen Fiction"Sampe sini aja, ya, Nar. Jangan terusin lagi perasaan yang mustahil gue bales. Kalo emang lo bener-bener sayang sama gue, please lepasin gue." --- Ketika harapan hanya sebuah angan, ketika aku dan kamu tidak menjadi kita. Ini kisah Zinara yang sela...
29. Sebuah misi
Mulai dari awal