👻MDS 25 || Terima Kasih

3.5K 458 22
                                    

"Saya tunggu ya, Pak."

Ryan mengakhiri percakapan di telepon.

"Lo pulang dianter supir pribadi lo, terus gue gimana?" tanya Sheina yang berdiri di samping Ryan, memainkan resleting jaketnya sendiri. Ia tak membawa barang apapun, ya memang karena saat lari dari rumah Pak Surya, ia hanya mengenakan jaket. Beruntung handphone-nya ada di saku celana.

"Bareng gue lah, bego," ketus Ryan.

"Kirain lo mau ninggalin gue sendiri," jawab Sheina diakhiri tawa kecilnya.

Mereka berada di lobi rumah sakit, menunggu jemputan datang. Semua biaya pengobatan Ryan kemarin akan dibayar oleh cowok itu, jadi Sheina tak perlu memikirkannya.

Ada banyak hal yang ingin Sheina tanyakan pada Ryan, tentang alasan kenapa Pak Surya melakukan hal tersebut, tentang bagaimana Ryan bisa selamat dari sana, juga tentang hantu perempuan yang menatapnya penuh amarah. Penjelasan Ryan kemarin belum cukup untuk mengusir rasa penasarannya.

"Kenapa lo mau nyelamatin gue? Katanya lo ga percaya sama manusia manapun?" Sheina berani bertanya.

Rintik air hujan mulai turun disertai embusan angin yang menerpa wajah kedua murid SMA itu. Hawa dingin terasa.

"Emangnya lo manusia?" Ryan membalas setengah bercanda.

Plak!

"Serius! Jawab."

"Sakit anjir," ringis Ryan memegangi lengannya sehabis dipukul oleh Sheina.

"Makanya jawab."

Jemari Ryan berganti mengecek keadaan luka di leher akibat pisau kemarin. Ia baru menyadari satu hal janggal.

"Gimana cara lo bawa gue ke rumah sakit?" Tiba-tiba Ryan melempar pertanyaan. Tatapannya terarahkan pada Sheina yang sedikit terkejut mendengarnya.

"Oh iya, gue lupa cerita ke lo. Kemarin, waktu lo mendadak pingsan, gue kebingungan apa yang harus gue lakuin. Mau bawa ke rumah sakit juga ga bisa karena gue ga kuat. Tapi, ga tau kenapa ada satu mobil dateng ke arah gue. Pengemudinya nyamperin gue dan nawarin tumpangan buat ke rumah sakit," terang Sheina.

Ryan dibuat bingung, begitu juga dengan orang yang menceritakannya. Mereka sama-sama bingung.

"Pengemudinya cewek atau cowok?"

"Cewek. Kayaknya dia baru pulang kerja."

"Oh, mungkin dia kasian liat orang kesusahan, jadi ditolongin." Ryan berspekulasi.

Secepatnya Sheina mematahkan spekulasi Ryan, masih ada satu keanehan, "Gue kurang yakin. Soalnya dia dateng dari arah depan, lajur kanan. Lo tau artinya 'kan? Kalo dia sebelumnya ngelewatin kita yang ada di pinggir jalan lajur kiri, gue pasti hafal mobilnya karena cuma dia satu-satunya yang lewat. Tapi dia dateng dari arah berlawanan, seolah tau kalo kita lagi kesusahan."

Ryan mengacak-acak rambutnya frustasi dengan penuturan Sheina, kemudian menghela napas panjang.


####





Hujan masih turun membasahi jalanan, seakan-akan enggan 'tuk berhenti. Padahal ada banyak orang yang ingin melanjutkan aktivitasnya di luar rumah.

Sheina mengamati beberapa orang yang berlalu-lalang melewati jalanan licin, rata-rata mereka memakai payung. Ada juga yang nekat menerobos hujan tanpa pelindung. Mungkin begitu sifat manusia, selalu tidak sabaran.

"Lo ga mau turun?" Suara khas milik Ryan menyadarkan Sheina. Lelaki itu sudah turun lebih dulu, menahan pintu mobil. Bergegas Sheina turun.

"Makasih ya, Pak," ucap Ryan pada pak supir sebelum melanjutkan langkahnya.

"Ini dimana?" Alis Sheina mengernyit begitu sampai di tempat asing.

"Apartement punya orang tua gue," balas Ryan tanpa melihat lawan bicaranya.

Sheina mengedarkan pandangannya sekilas. Apartement semewah ini ternyata milik orang tua Ryan? Sudah bisa dipastikan keluarga mereka termasuk berkecukupan.

"Lo tinggal di sini?" tanya Sheina untuk kesekian kali.

"Kadang-kadang doang kalo gue lagi males pulang ke rumah. Apartement ini udah jadi rumah kedua gue."

"Emang orang tua lo ga nyariin?"

Ryan mendengus pelan, "buat apa mereka nyariin gue? Lo liat sendiri, 'kan? Hari ini aja mereka ga nelpon atau nanyain kabar gue."

Lelaki berjaket itu membalikkan tubuhnya dengan tatapan sinis. "Gue cuma dianggap sebagai sampah di keluarga."

Ada beribu-ribu kesedihan di balik kalimat itu, Sheina bisa merasakannya walaupun Ryan tidak menjelaskan secara rinci.

Menit selanjutnya mereka sampai di meja resepsionis.

"Mba, saya minta kunci kamar nomer 222," pinta Ryan tanpa basa-basi.

Mba-mba resepsionis itu langsung memberikannya dan tersenyum manis ke arah mereka berdua.

Orang kaya memang beda, masuk apartement langsung minta kunci.

Sheina mengikuti langkah Ryan. Menaiki lift dalam keadaan hening. Pernyataan Ryan tadi membungkam Sheina. Bagaimana bisa orang tuanya menganggap Ryan sebagai sampah di keluarga?

"Nih kamar lo, istirahat dulu di sini. Besok baru gue anterin pulang ke rumah," ujar Ryan seraya memberikan kunci pada Sheina.

Tubuh jangkung lelaki itu semakin menjauh. Sheina menatapnya lekat-lekat, sudut bibirnya terangkat. Dalam diam ia berterima kasih karena Ryan sudah menyelamatkannya dan rela terluka.

"Sekali lagi, makasih, Ryan."

Sheina memasuki kamar.

Namun, ia tak menyadari sosok itu memperhatikannya dari kejauhan.





©MEREKA DI SINI

Selasa, 21 Desember 2021. 15:34.

By: Agen Intel

MEREKA DI SINI [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang