👻MDS 38 || Selamat Tinggal, Ryan!

3.2K 438 51
                                    

"Kini jasad siswa SMA tersebut sudah selesai di autopsi dan akan dipulangkan ke kediamannya untuk dimakamkan secara layak. Kamipun telah mendapat informasi baru bahwa—"

Klik!

Layar televisi yang sebelumnya menampilkan seorang wartawan tengah memberitahukan berita terbaru, kini menjadi hitam sebab dimatikan.

Dari seminggu yang lalu orang-orang tiada hentinya membicarakan berita itu. Bahkan ada yang mengira kalau semua itu adalah hoax dan berpikir yang menyebarkannya cuma ingin pansos.

Kalian pasti tahu bagaimana sifat manusia setelah mendapat suatu berita penting. Ada yang langsung menyebarkan tanpa tahu kejelasannya dan ada yang rela pergi jauh-jauh ke TKP untuk meredakan rasa penasaran.

Kegaduhan ini juga terjadi di dunia maya. Banyak orang yang mengandalkan sosial media sebagai ladang mencari nafkah berbondong-bondong menggali informasi demi mendapatkan uang. Acara-acara di televisi pun ikut meliput berita ini agar rating semakin naik.

Namun, ada satu orang yang selama kericuhan malah berdiam di rumah. Lebih tepatnya mengurung diri di kamar. Entah karena malas atau ia memang tak mau mengingat 'peristiwa' itu lagi.

Dia Sheina Arsilia. Gadis kelas 12 SMA yang hidup sendiri di rumah berlantai dua pemberian pamannya. Mungkin memang ia ditakdirkan untuk selalu sendirian tanpa teman. Ia juga tidak tahu di mana keberadaan ayah dan abangnya.

Sheina menghela napas kasar. Usai mandi, ia langsung berbaring di sofa sambil membaca buku pemberian Rey. Buku itu terlihat seperti novel karena tidak begitu tebal, tapi hanya berisi kata-kata motivasi plus gambar serta berwarna.

Jari Sheina membalik lembaran kertas itu lagi hingga ia menemukan kalimat yang sangat pas dengan kondisi sekarang. Tepat di halaman 48, di atas kertas berwarna biru muda ditambah ilustrasi manusia.

Kau tahu manusia, hampir semua sama.
Hanya saja kau tak bisa menghindari mereka.
Karena itulah kau terus terluka.
Karena mereka manusia.
Kita pun manusia.

Sheina menutup bukunya diselingi helaan napas. Benar, semua ini terjadi karena kita sama-sama manusia; mempunyai sifat dan keinginan yang sama. Maka, tak ada jalan lagi selain menghadapi semua masalah. Andai Sheina tak terlahir di dunia ini, apakah ia akan bahagia?

Kring!
Kring!
Kring!

Alarm yang biasa membangunkan Sheina berdering. Pukul 06:30. Seharusnya ia bersiap berangkat sekolah. Namun, sudah hampir seminggu ia bolos. Lebih tepatnya sejak kejadian itu.

"Ayo! Semangat, Sheina. Lo ga boleh nyerah," ucapnya menyemangati diri sendiri setelah beberapa menit bimbang. Akhirnya ia memilih untuk pergi ke sekolah. Tekadnya sudah bulat, maka ia mulai menyiapkan barang-barangnya.

Tak perlu menunggu lama, hanya dalam waktu 10 menit ia selesai mengemas peralatan sekolah. Sheina bersiap membuka pintu, tapi tangannya berhenti memutar knop begitu mendengar percakapan para ibu-ibu yang kebetulan berada di depan rumahnya. Kalau pagi-pagi begini memang ada tukang sayur keliling yang biasa berjualan di sini.

"Ceu Kokom tau ga? Katanya, anak yang meninggal karena dibunuh di hutan waktu itu ayahnya pemilik Rumah Sakit Permata Indah."

"Rumah sakit yang bagus itu?"

"Iya, Ceu. Terus saya denger-denger lagi, katanya—"

Obrolan itu seakan memaksa Sheina untuk mengingat kejadian tak mengenakkan di perkemahan walau sebenarnya ia sedang berusaha melupakan.









####










"Aww," ringis Sheina tatkala kakinya tersandung akar pohon besar yang menjulur keluar. Wajar saja, kondisi di dalam hutan sangat gelap walau Sheina menyalakan senter di ponsel karena cahayanya hanya bisa menerangi jalan beberapa meter di depan. Harusnya ia tak menuruti perkataan Ryan dan tetap menunggu di bawah pohon sampai pagi.

MEREKA DI SINI [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang