👻MDS 40 || Dejavu

3.2K 416 11
                                    

"Ryan?" Sheina menyipitkan mata dan fokus menatap seorang lelaki di halte.

Dilihat dari tingginya, memang sama seperti Ryan. Namun, mana mungkin orang itu adalah Ryan, 'kan? Pasti hanya perasaan Sheina saja. Ryan tidak mungkin reinkarnasi karena ini dunia nyata, bukan cerita fiksi.

Ah, sudahlah. Daripada terus memandangi lelaki tadi, lebih baik Sheina pulang naik angkutan umum saja. Kebetulan ada angkot yang biasa lewat dekat rumahnya.

Angkot mulai bergerak begitu Sheina duduk di dalamnya. Ia memilih duduk di pojok, kemudian membuka jendela agar bisa merasakan angin sore yang segar. Beruntung kali ini keadaan di dalam angkot sepi, tidak ramai seperti biasa.

Sheina sengaja membiarkan jendela angkot terbuka lebar saat melewati halte. Laki-laki itu masih berdiri di sana menunggu bus. Wajahnya tak terlihat jelas sebab ia sedang bermain ponsel sambil menunduk.

Lagipula, apa yang Sheina harapkan? Mengapa ia terus berpikir bahwa pria itu adalah Ryan? Padahal berita kematian Ryan telah menyebar dimana-mana. Sheina juga yang menjadi saksi sampai harus diinterogasi. Lalu, kenapa ia masih berharap kalau Ryan belum meninggal?









####



















Kaki Sheina melangkah menelusuri jalan yang ramai dilalui orang. Banyak anak muda maupun orang tua yang menyempatkan diri untuk jalan-jalan sore, entah bersama pasangan atau keluarga.

Semua orang nampak ceria, sedangkan Sheina tak bisa tersenyum seperti mereka. Ada terlalu banyak hal di otaknya yang memaksa dirinya untuk terus berpikir.

Kini tangan Sheina tengah memasukkan kunci ke lubangnya, kemudian membuka pintu.

Cklek!

Suasana di dalam rumah gelap gulita dan tentu saja sepi. Biasanya kalau sehabis pulang sekolah begini, selalu ada Rey yang setia menunggu Sheina di ruang tamu. Kadang, pria itu malah menjemput Sheina.

Sheina masuk, masih dengan langkah yang lesu ia berjalan menuju sofa di ruang tamu. Merebahkan tubuhnya di atas benda empuk tersebut. Sejenak ia memejamkan mata. Berusaha 'tuk tidur dan berharap kalau semua ini hanyalah mimpi buruk.

Namun, baru beberapa detik, Sheina sudah terbangun lagi. Masih di posisi yang sama dan tempat yang sama; di rumah berlantai dua. Sendirian.

Sheina bangkit mengambil satu bantal yang sebelumnya ia pakai untuk tiduran, meninju bantal tersebut agar rasa kesalnya berkurang. Setelahnya, bantal itu ia lempar ke sembarang arah.

Tak hanya itu, remote TV pun jadi korbannya. Sheina tidak peduli jika rumah ini akan berantakan karena ulahnya.

Setetes air mata terjatuh disertai tetesan berikutnya yang membasahi rok abu-abu milik Sheina. Ia menunduk usai melempar semua barang. Isak tangisnya tak dapat ditahan.

"Bang Rey ga nepatin janji! Katanya mau pulang, tapi kenapa sampe sekarang ga ada kabar?" lirih Sheina di sela-sela tangisannya.

"Ryan juga! Lo udah janji sama gue buat cari Bang Rey sampe ketemu, tapi ternyata lo juga pergi. Sekarang lo udah sealam sama Nayva."

Seharusnya memang dari awal saja Sheina hidup mandiri, tidak bergantung pada Rey. Tak usah sekolah di SMA Pertiwi agar ia tidak mengenal Ryan dan janji-janjinya.

MEREKA DI SINI [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang