Act 000

109 11 3
                                    

Hawa panas bergejolak hebat berasal dari api membara. Setumpuk kayu bakar berkertak dan gugur sedikit demi sedikit, berubah menjadi hitam arang. Besar sekali api tersebut hingga dapat menelan dua anak manusia yang masing-masing berusia sepuluh dan tiga belas tahun. Mereka dililit erat dengan tali tambang dan menggantung tepat di atas kobaran api sementara katrol yang dikendalikan oleh seorang pria tak jauh dari sana perlahan menurunkan mereka.

Anak yang berumur tiga belas tahun adalah perempuan. Matanya terpejam tampak tidak menyadari nasib apa yang akan menimpanya sebentar lagi, tetapi pelupuh keringat membasahi seluruh tubuhnya yang lemas tak berdaya. Sementara anak satunya lagi adalah laki-laki, dengan mata birunya yang jernih dia melihat persis di bawahnya dia akan menjadi manusia bakar.

Keringatnya bercucuran dan jantungnya berdebar keras. Teriakannya tidak henti-henti meminta tolong yang sayangnya membuat sang pria pengendali katrol, wanita penyihir sialan di hadapannya yang sedang cengar-cengir, dan seorang anak kecil di bawah bayang-bayang rumah yang gelap semakin tergairahkan mendengar jeritan penuh siksaannya. Jika memang benar, jeritan itu yang menunda kematiannya karena keluarga sinting ini ingin mendengarnya lebih lama. Namun sekiranya sudah hampir semalaman anak itu berteriak, tenggorokannya benar-benar terbakar. Tenaganya sudah habis total.

Sang penyihir wanita pun tertawa dengan suaranya yang parau. "Bagaimana rasanya menjadi tidak berdaya, Mata Merah? Menakutkan? Sengsara? Putus asa? Hihihi."

Beginikah nasib akhirku? Menjadi manusia bakar? Anak laki-laki itu tidak punya waktu mendengar sang penyihir sinting jika isi kepalanya membuatnya sangat fokus pada akhir hidupnya yang mengenaskan. Bukan hanya keringat yang bercucuran dari tubuhnya hingga membasahi sekujur pakaiannya, air matanya pun berjatuhan menetes pada api kemudian menguap tanpa sisa.

Anak itu mencoba untuk meronta-ronta, berharap katrol kehilangan kestabilan dan dia bisa melempar diri ke arah yang jauh, tetapi dia juga perlu membawa beban temannya yang tidak sadarkan diri. Berat dua kali lipat dengan tenaga yang nyaris di ujung tanduk, usahanya sama sekali tidak berguna. Satu-satunya usaha yang bisa dia lakukan adalah berusaha untuk memasrahkan diri.

Dia terisak, dadanya sesak. Bahkan sudah kelelahan untuk menangis. Pikirnya, jika dia tidak berbuat macam-macam sebelum ini seperti menyelinap keluar dari asramanya pada malam hari, pergi ke hutan dan berteman akrab dengan keluarga penyihir gila ini, atau memercayai bahwa dirinya, sebagai Mata Merah, memiliki kekuatan yang cukup untuk bertahan jika terjadi hal buruk ....

Hawa panas api membara tersebut semakin dekat, semakin dekat, dan semakin dekat ....

"Nick!"

Suara keras yang memanggilnya membangunkannya dari mimpi buruk. Dia segera menarik napas kencang dengan dada yang berdebar keras. Suhu tubuhnya saat ini mirip dengan air mendidih di mimpinya. Keringat yang membasahi badannya yang berusia tujuh belas tahun hampir membuatnya yang setengah sadar benar-benar mengira dia sudah dilahap kobaran api.

Haus. Dia butuh minum. Yang banyak.

"Nick," suara itu memanggil lagi, tapi kali ini lebih pelan. Suaranya berasal dari atas kasur tingkat. Kepala seorang anak laki-laki dengan rambut hitam ikal melongok dari balik kasur. Senter dari ponselnya yang menyorot Nick membuat kepala Nick pening. "Mimpi manusia bakar itu lagi?"

Nick meringis, meminta senter dimatikan dengan isyarat tangan. "Sepertinya kita memang harus pisah kamar. Maaf aku mengganggumu lagi."

Anak itu mematikan senter. "Ya, aku setuju. Kalau kamu yang pindah ke kamar satunya, sih. Tapi bagaimana, sudah merasa lebih baik?"

Konyol, sudah sadar begini justru air mata membasahi mata dan memenuhi hidungnya. Perasaan takut tersebut walau hanya terjadi dalam mimpi terasa sangat nyata. Dia menyedot ingus dan menyeka air mata dengan punggung tangannya. "Kalau kamu tidak repot bisa ambilkan aku air?"

Sesaat teman sekamarnya itu terdiam. "Uh, iya." Kelihatan dia berusaha menyeret diri menjadi teman yang baik tetapi malas gerak. Jadi Nick mengurungkan niat.

"Eh, tidak jadi Ferus. Biar aku saja. Aku juga butuh udara segar." Dia pun bangkit dari kasurnya, keluar dari kamar menuju dapur yang berada di lantai bawah.

Sejujurnya tubuhnya masih lemas. Namun ketika segelas air membasahi kerongkongannya hingga terasa dingin mengalir ke perut, rasanya semua menjadi lebih baik. Dia pun keluar dari rumah masih dengan segelas air yang diisi ulang. Udara dingin pada malam hari memang paling terbaik untuk merelakskan jiwa-jiwa manusia merana.

Sejenak Nick memejamkan mata. Mimpi buruk barusan bukan benar-benar mimpi, tetapi traumanya ketika masih kecil. Dia harap tak seorang pun lewat pukul dua malam seperti ini karena tiba-tiba saja dadanya sesak sampai membuatnya menangis dalam bisu.

Gelas di tangannya yang gemetar seakan menjadi sumber masalah. Dia melempar benda itu sekuat tenaga, melampiaskan seluruh keresahan dan kemarahannya, hingga hampir mencapai tengah jalan besar kota. Namun tentu saja dia tidak akan membuat gelas itu pecah kecuali ingin membangunkan seluruh tetangga.

Warna iris matanya berubah merah, gelas yang dia lempar beserta air yang tercecer di udara tiba-tiba berhenti sama sekali. Seolah waktu berhenti total.

Lalu gelas tersebut memelesat kembali ke arah Nick, menampung kembali air yang tadinya akan berjatuhan hingga gelas tersebut kembali ke tangannya dengan sempurna. Kesekian kalinya Nick menghela napas.

Mata Merah, makhluk di muka bumi yang paling superior.

Nick berdiri. Dari undakan kecil di depan pintu rumahnya dia dapat melihat sebuah gedung nun jauh ditelan kegelapan malam. Namun pada gedung tersebut terdapat sebuah logo berbentuk mata milik sebuah gedung pencakar langit berwarna merah darah, terang benderang seakan mengamati seluruh rakyat yang sedang tertidur pada malam hari.

Nick mengernyit. Ya, mereka superior. Tapi aku jauh berbeda dari mereka.

Aku hanya setengah, seorang Mata Merah yang cacat.

Eyes of the Damned [2018]Where stories live. Discover now