Act 010: Part 3

19 5 0
                                    

Nick membuka mata, dan memutuskan untuk menutupnya lagi karena sinar matahari persis menghadap pada wajahnya di balik kaca mobil, menusuk mata sampai ke saraf-saraf.

Api. Sumber kebencian, kemarahan, ketakutan, semua energi negatif terhimpun di dalamnya. Bukannya mempersembahkan cahaya malah membangkitkan kegelapan serta rasa tidak aman dalam diri Nick. Api besar di hutan itu seakan hendak melahapnya hidup-hidup. Memenuhi pandangan sehingga membangkitkan ingatan dibelenggu tak berdaya, meraung berharap keajaiban menolongnya.

Kepalanya yang miring selama dia tidur dia luruskan, menimbulkan titik pedih menusuk di sisi berlawanan dari lehernya yang melengkung, titik di mana gigitan Jessie masih membekas. Sementara tangan kirinya mengusap titik menyakitkan itu, tangannya yang lain memijat kening. Rupanya pingsan entah berapa lama tidak membuatnya lebih baik. Untungnya pendingin mobil menyala menjaga suhu tubuhnya tetap stabil.

"Kamu sudah baikan?" suara Yuka di samping kiri Nick, dia nyaris lupa ada orang lain bersamanya dalam mobil. Walau dari kaca spion dalam, Nick tidak menemukan Ferus dan Jessie. Hanya dia dan Yuka saat ini.

Nick berusaha membenarkan posisinya. "Sudah ... berapa lama?"

"Baru sebentar. Kita baru sampai. Ferus kelaparan, jadi dia ditemani Jessie ke JJC." Yuka menunjuk pada restoran cepat saji di hadapan mereka dengan dagunya. Rupanya mereka sedang parkir di lahan parkir JJC.

Nick menghela napas, tidak tahu harus bicara apa. Dia ingin marah tapi tidak tahu pada apa, bahkan sumbernya saja tidak tahu. Yuka jelas tidak salah, apa salahnya dia membuat ide mengelabui para iblis di kabin dengan membakar hutan? Lagi pula dia mana tahu tentang trauma Nick. Lagi-lagi Nick kecewa. Kecewa pada diri sendiri.

Lalu Nick melirik Yuka dari ujung mata, ternyata Yuka sudah memandangnya penuh empati. Yuka kelihatan begitu hancur, dan Nick tidak tahu apakah dia sendiri lebih parah atau bagaimana.

Yuka berpaling sesaat, tapi memberanikan diri memandang mata Nick lagi. "Ferus memberitahuku soal traumamu terhadap api. Separah itu, ya?"

Tidak salah gadis itu penasaran, tapi Nick sangat tidak menyukai bahasan ini. "Bisa dibilang begitu."

"Apa yang ...." Yuka tidak mampu melanjutkan kata-katanya, memutuskan untuk menekuk bibirnya ke dalam, menggigitnya, dan memandang ke bawah pada tangannya yang berpaut canggung di atas pangkuan.

"Maaf, bahkan Ferus saja masih belum tahu detailnya bagaimana. Yang dia tahu hanya aku sering mengigau karena mimpi buruk." Bahkan menerangkan itu saja sudah berat baginya. Dia berusaha mencari sesuatu yang bisa mengalihkan kegetiran dalam benaknya. Lapangan parkir lengang, sebuah restoran di kejauhan sana, sejumlah mobil yang terparkir.

"Aku bisa mengerti," ujar Yuka mengalihkan perhatian Nick. "Seperti ketika aku pertama kali bangun dari laboratorium eksperimen ilegal dua tahun yang lalu."

Beberapa kali Nick mengerjap, seketika penasaran. "Eksperimen ilegal?"

Yuka menelengkan kepala. "Aku belum cerita tentang ini, ya?" Dia pun bersandar pada pintu mobil agar sebagian tubuhnya menghadap pada Nick. "Sebenarnya aku amnesia sejak dua tahun lalu. Pertama kali aku terbangun, aku berada di sebuah ruangan gelap. Aku terkurung sendirian dengan tubuh yang sangat kesakitan."

Dahi Nick berkerut tidak percaya. "Wah. Awal mula kenapa kamu bisa di situ, apa kamu tahu?"

Yuka menggeleng kecil. "Bahkan sampai sekarang tidak tahu. Tapi setelah sekian lama aku terkurung, pintu yang dikunci itu akhirnya terbuka. Seberkas cahaya menyilaukan menyakiti mataku. Itulah saat di mana Ayah dan pasukannya menyelamatkanku."

Nick mengamati Yuka dari atas sampai bawah. "Eksperimen ilegal itu terjadi di sini? Kenapa aku tidak pernah dengar beritanya? Kurasa itu peristiwa cukup menghebohkan yang pantas disorot media."

Tanpa tertarik dengan pertanyaan itu Yuka mengangkat bahunya. "Entahlah. Dan ya, terjadi di sini. Tapi Ayah menduga aku diculik dari Kawakami."

"Negeri dari timur itu, ya." Nick mengangguk pelan. "Saat melihatmu aku sudah menebak. Ternyata memang benar."

"Iya," Yuka mengonfirmasi. "Dan sejak itu ... sama sepertimu. Aku jadi takut gelap." Yuka terkekeh masam. "Cahaya, salah satunya adalah api, menjadi salah satu hal favoritku. Aku ingin dunia terus-terusan dalam keadaan terang. Dunia yang selalu terang dan dipenuhi orang-orang yang hidup menyenangkan, bukan?"

Sejujurnya, Nick antara sadar dan tidak sadar bahwa di dunia ini yang menderita bukan dia saja. Contohnya Yuka, dia juga berjuang mendapatkan kedamaian dalam hidupnya. Tidak mengetahui identitasnya selama dua tahun dan biarkanlah itu terjadi. Nick selalu mengingatkan diri bahwa penderitaan itu selalu ada. Tidak ada perbandingan antara deritamu dan derita orang lain. Seberat apa pun, seringan apa pun, semuanya sama. Tinggal bagaimana caranya saling bantu untuk meredakannya.

"Maaf karena membakar hutan itu." Yuka tidak berani memandang Nick. "Sekarang, sebelum aku tidak sengaja berbuat salah lagi, aku ingin memberitahu api itu bukan dibuat dengan api biasa."

Yuka pun mengangkat tangan. Telapak tangannya bagai sebuah pemantik api yang memercikkan api kecil. Api mungil itu lurus, pada pangkalnya berwarna biru yang perlahan berubah menjadi kuning. Berbeda dengan api monster yang menelan hutan, api mungil di tangan Yuka itu terlihat sama sekali tidak berbahaya.

"Apa aku menakutimu lagi?" Yuka tiba-tiba bertanya.

Nick menggelengkan kepala. "Api sekecil ini tidak begitu menakutiku. Api kompor pun tidak."

"Jadi harus api yang besar, ya? Bagaimana kalau perlahan kamu terbiasa dengan setiap ukuran api dan aku yang akan mengaturnya?"

Mata biru Nick menatap pada mata cokelat Yuka. "Maksudmu kamu akan membantuku melupakan traumaku?"

Sudut-sudut bibir Yuka tertarik ke atas membentuk lengkung senyum bersama dengan pipi tembamnya yang menaik. "Bagaimana?"

Tawaran itu terdengarmenarik. Akhirnya Nick menganggukkan kepala, menyeringai kecil. "Coba lihat apayang bisa kamu lakukan untukku."

Eyes of the Damned [2018]On viuen les histories. Descobreix ara