Act 008: Part 2

10 2 0
                                    

Berusaha menyembunyikan emosi, Yuka pun menjawab pertanyaan ayahnya yang masih menunggu dengan sabar tanpa menyentuh kuenya sedikit pun. "Tentu saja aku masih kesal. Malahan kecewa," kata Yuka dengan getir. "Tapi berikan aku waktu sedikit lebih lama untuk meredakannya." Dia pun tersenyum pahit, menatap ayahnya. "Bagaimana pun Ayah sudah berusaha untuk menjagaku, 'kan?"

Ayah kehabisan kata-kata. Hanya terlihat matanya mulai berkaca-kaca.

Yuka tidak menyukai jika ayahnya seperti itu. Tidak menyukai bahwa saat ini dia telah membuat ayahnya sedih. "Aku juga mengerti Paman Peri yang bersemayam di dalam diriku ini bisa membahayakan orang-orang makanya Ayah tidak membolehkanku keluar sampai menemukan cara untuk mengeluarkannya." Yuka mengepalkan tangan kuat-kuat di atas meja untuk menghancurkan perasaan tidak tulus yang membelenggunya. "Terlalu banyak misteri yang tersimpan di masa laluku."

Ayah pun meraih tangan Yuka yang mengepal. Tangan Ayah sangat besar dan hangat, seakan siap melindungi Yuka kapan pun dan di mana pun. Senyumnya pun meneduhkan hati, salah satu hal yang membuat Yuka selalu menyesal telah menyakiti hati pria baik hati ini.

"Bagaimana pun Ayah masih bertekad untuk sepenuhnya menyelamatkanmu, Yuka. Maaf karena mengesampingkan kepentingan mencari orangtuamu. Tapi tentang roh jahat yang berada dalam dirimu itu ..., Ayah janji akan menemukan cara untuk menyingkirkannya."

Yuka pun mengangguk dan senyum tersungging di bibirnya yang bergetar karena menahan isak tangis. "Semoga kita segera menemukan titik terang, ya, Ayah."

Lalu Ayah mengusap kepala Yuka. Suasana hati mereka berdua perlahan telah kembali normal. "Yup, semoga saja." Ayah pun kembali bersandar pada kursi. "Omong-omong, Ayah pikir sepertinya tidak ada salahnya juga kalau kamu ingin berteman dengan Nick."

Yuka memiringkan kepala. "Hmm? Kenapa?"

Ayah pun kembali memakan kuenya yang sesendok pun belum masuk mulut. "Dia satu-satunya anak seumuranmu yang dekat dengan Ayah. Ferus juga, sih. Tapi anggap saja satu paket. Dan lagi pula dia yang seorang Mata Merah di antara keduanya. Yah, walau masih setengah. Tapi jangan main-main dengannya, dia begitu-begitu cukup cerdik. Malah dulunya anak berandalan. Jadi Ayah rasa kalau suatu saat kamu lepas kendali dia bisa mengatasinya."

"Benarkah? Kukira dia semacam anak pengecut di pojok kelas yang menyukai kartun dan membenci semua orang." Yuka mengerjap tidak percaya.

Tangan Ayah mengusap janggutnya. "Hmm, itu juga tidak salah, sih. Apalagi bagian menyukai kartun."

"Eh? Ternyata dia sama saja denganku." Yuka terkekeh. "Tapi apa maksud Ayah tadi tentang setengah Mata Merah?"

"Itu istilah untuk Mata Merah yang pada saat ritual kelahirannya tidak sempurna. Atau bahasa kasarnya, sih, gagal. Dan kamu tidak mau menggunakan kata-kata gagal pada sembarang orang, 'kan?"

"Hmm-mm." Yuka mengangguk-angguk sambil menyendok kuenya.

"Biasanya mereka lahir sebagai manusia biasa," lanjut Ayah. "Tapi begitu hampir mencapai masa pubertas, tanda-tanda bahwa mereka adalah Mata Merah akan muncul." Lalu Ayah juga menyuap kue pada mulutnya. "Hmm. Apa lagi, ya? Oh, selain itu, kapasitas energi mereka tidak sama dengan Mata Merah seharusnya. Mereka rawan kehabisan tenaga. Tahu saja kalau terlalu memaksakan diri itu bisa membahayakan nyawa—siapa pun itu."

"Jadi itu alasan kenapa dia terlihat seperti membenci segalanya?" tanya Yuka.

Ayah kelihatan bingung harus menceritakan semuanya dari mana, dia menggaruk kepalanya dengan pelan. "Sebenarnya ceritanya cukup rumit. Aku harus mulai dari mana, ya .... Oh!" Tampaknya sebuah ide tiba-tiba menyembul dalam kepala Ayah. Pria itu pun mengangkat sendok dan mengarahkannya pada Yuka. "Begini saja. Karena kamu sebegitunya ingin berteman dengan Nick, Ayah berikan tugas untuk cari tahu tentang masa lalunya."

Eyes of the Damned [2018]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora