Act 008: Part 1

12 2 0
                                    

Yuka pikir begitu tiba di rumah dia bisa kembali beristirahat. Berbaring di atas kasurnya yang empuk bagaikan awan surga, ditemani bacaan seru yang baru dia beli seminggu lalu: satu set komik cowok yang sudah tamat. Namun ternyata ayahnya sudah menunggu di meja makan, mengajaknya makan-makan bersama.

"Yuka," ucapnya dengan lembut disertai senyum penuh wibawa. "Ikut makan dengan Ayah, yuk."

Firasat Yuka berubah buruk. Ayahnya yang hobi lembur tidak pernah pulang secepat ini kecuali dia sedang dalam suasana hati seenaknya saja. Dan biasanya, suasana hati seenaknya saja itu disebabkan oleh urusan mendadak yang baginya sangat penting. Contohnya saja dia datang ke rumah Nick untuk menjemput Yuka serta memberikan cowok itu sebuah misi. Sedangkan malam ini, pukul delapan malam, ayahnya pasti punya sesuatu yang harus disampaikan pada Yuka.

Tadinya Ayah sedang sibuk mengeluarkan makanan dari dalam sebuah tas jinjing berbahan kanvas, tapi mengetahui anaknya tidak mendekat sedikit pun pria itu menyuguhkan sebuah kotak plastik transparan berisi kue. "Ini kue green tea, kesukaanmu. Ayah juga sudah siapkan teh kamomil hangat untukmu."

Seketika mata Yuka berbinar, nyaris lupa dengan kekhawatirannya hanya karena kue favoritnya. "Oh!" serunya, lalu dengan langkah kecil tapi cepat menghampiri kursi kosong yang berada di hadapan ayahnya untuk duduk di situ.

Dengan senang hati Ayah memberikan Yuka sendok kecil yang sudah dia siapkan sebelumnya. Begitu kue yang disendok Yuka masuk ke dalam mulut, rasa manis bercampur sekelumit pahit yang khas itu menyebar pada lidahnya. Teksturnya cukup padat dan penuh dengan krim seolah meleleh dalam mulutnya. Dia pun menyenandungkan "hmm" tanda sangat menikmati kue tersebut.

Rupanya sejak tadi Ayah sekadar memperhatikan anaknya, tidak sedikit pun menyentuh kue. Hal itu membuat Yuka memelankan kunyahan, bertanya-tanya.

Ayah pun dengan sangat lambat bertanya, "Uh ..., tadi ... makan apa di luar?"

Dugaan Yuka tidak salah, tapi tetap saja dia sedikit terkejut ayahnya tahu dia keluar dari rumah tanpa izin. Masih dengan mulut penuh dia pun menjawab, "Sushi di Silverfield Plaza."

Ayah memotong ujung kue dark chocolate lalu menyendoknya. "Sepertinya darah timurmu melekat sekali, ya. Ayah tidak pernah suka ikan mentah."

"Um, sushi tidak selalu mentah," kata Yuka. Tiba-tiba dia merasa perlu untuk mendinginkan suasana yang menurutnya sangat tidak menyenangkan sekarang. "Makanya sudah kubilang Ayah harus coba makan di sana. Nanti aku rekomendasikan menu yang mungkin cocok untuk Ayah, kok."

"Oke, oke. Akhir minggu ini bagaimana?" Ayahnya pun tersenyum.

Ada sesuatu yang aneh dari sikap ayah angkatnya, terutama pria itu tidak merusuh seperti biasa. Tapi Yuka paham bahwa ayahnya sedang mengajaknya mengobrol santai untuk menyembunyikan kekesalan tentang Yuka yang lagi-lagi kabur dari rumah. Dirinya sendiri pun sudah mengusahakan mengikuti arus obrolan santai itu, tapi tetap saja jantungnya berdebar-debar. Gerah dengan itu, Yuka pun menghela napas berat. Mempersiapkan diri untuk bicara.

"Maaf, Ayah. Lagi-lagi aku kabur dari rumah. Dan sepertinya Paman Peri sempat mengendalikanku, pengawal baru yang disewa Ayah kemarin ...." Yuka sampai tidak sanggup melanjutkan ucapannya.

Ayah pun meletakkan sendok yang tadinya sudah siap dia suap ke mulut. "Yah. Mau bagaimana lagi. Tapi sejujurnya Ayah yang ingin minta maaf karena sudah mengurungmu cukup lama."

Persis seperti ayahnya, dengan mudah nafsu makan Yuka lenyap. Dia meletakkan sendok di atas piring. "Sudahlah. Mungkin aku saja yang tidak bisa menahan diri. Padahal maksud Ayah, 'kan, jangan sampai Paman Peri yang berada dalam diriku tiba-tiba mengendalikanku. Kalau aku sampai membunuh orang di luar sana bagaimana? Lagi pula aku punya Ayah yang selalu menemani di rumah. Apalagi apa pun yang aku inginkan selalu dikabulkan oleh Ayah. Masa aku belum puas?"

"Tidak. Bukan salahmu kalau kamu mulai kesal dan bosan dengan Ayah. Ingin melihat dunia luar juga memiliki teman baru sebayamu. Ayah pun cuma bisa menemanimu setiap malam dan pagi." Ayah pun menggaruk rahangnya yang diselimuti oleh jenggot. "Lagi pula penyebab utamanya bukan itu, Ayah tahu. Kamu kesal karena Ayah tidak menemukan keluargamu, 'kan? Dan tidak mencari tahu siapa identitasmu sebelum dua tahun yang lalu? Sebelum Ayah menyelamatkanmu dari laboratorium eksperimen ilegal itu?"

Pembicaraan ini semakin lama semakin membuat Yuka tidak enak hati dengan ayahnya. Jujur saja, Yuka sangat mengerti, Ayah sudah berusaha sebaik mungkin menggantikan peran orangtua Yuka yang asli. Bahkan ketika semua agen DHS mendiskusikan pilihan mengenai panti asuhan mana yang akan merawatnya, Ayah justru menjadi orang paling pertama yang bersedia mengadopsinya. Entah apa yang berada di dalam benak ayah angkatnya saat itu, tapi Yuka benar-benar merasa spesial. Saat itu Yuka sedang tenggelam dalam kegelapan tanpa cahaya, tidak mengingat sedang berada di mana dan siapa dirinya. Satu-satunya yang dia ingat hanyalah nama depannya. Namun cahaya itu akhirnya datang ketika Ayah mengulurkan tangan padanya. Tersenyum sambil berkata semuanya akan baik-baik saja.

Hanya saja sebagai orang yang tidak memiliki ingatan sejak ayah angkatnya menyelamatkannya dua tahun lalu, jelas Yuka ingin menemukan keluarganya kembali. Bagaimana kalau ternyata keluarganya sedang menunggunya, masih tidak menyerah menganggap anaknya hidup di luar sana? Bagaimana jika polisi memutuskan untuk menyerah mencari Yuka ketika keluarganya masih belum dapat sedikit pun petunjuk?

Karena itu Yuka terus bertanya pada ayahnya mengenai progres pencarian keluarganya. Ayah selalu bilang sedang diusahakan, tapi Yuka tidak sebodoh itu. Apakah tidak ada jawaban lain selain sedang diusahakan? Mengapa ayahnya tidak bisa menjelaskan sudah sampai mana kemajuan yang didapatkan? Jika memang tidak ada kemajuan, mengapa ayahnya tidak membicarakannya secara transparan?

Seminggu lalu Yuka marah besar akan hal itu. Dan setelah sekian lama mereka tinggal bersama, akhirnya Ayah membuka kartu yang selama ini dia simpan sangat hati-hati.

"Sejujurnya, Ayah sudah menghentikan pencarian keluargamu dari lama," ujarnya nyaris berbisik. Bahkan matanya tidak berani menatap Yuka yang saat itu sedang menangis.

Benar-benar Yuka tidak percaya dengan apa yang diucapkan ayahnya saat itu. Air mata pun bergulir di atas pipinya. "Kenapa ... Ayah menghentikannya?"

Ayah membisu cukup lama hingga akhirnya dia berani jujur. "Karena banyak tenaga, waktu, serta biaya yang terkuras. Masih ada berbagai misi yang menunggu giliran untuk ditindak." Lalu Ayah mengangkat kepalanya. Tak disangka matanya pun berkaca-kaca. "Apakah aku sebagai ganti orangtuamu masih belum cukup?"

Tatapan itu dengan mudah menikam hati Yuka. Dirinya bagaikan kaca yang pecah-belah. Sampai-sampai tidak tahu saat itu sebenarnya siapa yang paling menderita di antara mereka berdua. Tidak kuat dengan itu, Yuka segera berpaling, meninggalkan ayahnya menuju kamar dan menangis hebat. Harapannya untuk bertemu keluarganya telah pupus dan kini dia telah menyakiti hati ayah angkatnya yang susah-susah merawatnya selama keluarganya tidak ada.

Bimbang dengan hal itu membuat Yuka ingin keluar dari rumah milik sang pemimpin DHS. Sebaiknya dia mencari tahu sendiri entah bagaimana pun caranya, walaupun dia tidak tahu harus memulai semuanya dari mana. Tak ada petunjuk, tak punya bantuan dari orang yang ahli, tak memiliki ingatan. Sendirian. Dia sangat merasa sendirian.

Semampunya Yuka mengunci itu semua, lalu membuang kunci itu supaya tidak kembali membukanya, biarpun rasa sakit itu masih ada.

Eyes of the Damned [2018]Where stories live. Discover now