Act 007: Part 1

13 3 0
                                    

Hidung Nick berdarah-darah. Dia menyekanya dengan sebuah handuk putih sehingga noda darah tercetak sangat kontras pada permukaan handuk. Sementara itu tangan satunya menempelkan handuk berisi es batu pada keningnya yang bengkak. Sebenarnya seluruh wajahnya berlepotan akan darah dan bengkak. Dengan bosan dia mendengarkan guru bimbingan konseling mengomelinya.

"Beruntung orangtuamu adalah pemimpin DHS. Kami tidak bisa bertindak banyak selain membiarkanmu tetap berada di sekolah bahkan membolehkanmu naik kelas," ujar wanita paruh baya yang duduk menyilangkan kaki di sofa seberang Nick berada. "Kamu mengerti perasaan Harold, 'kan?"

"Bagaimana dengan nilaiku yang memukau? Yang itu tidak dianggap?" Nick menjawab dengan jengkel. "Kami memang sama-sama anak berandal, tapi Harold anak bodoh. Tidak sepertiku. Wajar dia sampai iri padaku yang boleh naik kelas."

Sang guru pun berdiri, meletakkan tangan di belakang punggung. "Prestasimu memang luar biasa padahal kebanyakan tidak mendengarkan di kelas. Jangankan mendengarkan, hadir saja tidak. Tapi apa artinya jika sikapmu nol? Asal kamu tahu, prestasi akademikmu itu akan sia-sia di masa depan jika kelakuanmu seperti ini. Camkan itu baik-baik, Nick."

Nick meletakkan handuk bekas darah di hidungnya dan handuk berisi es di atas meja kopi. "Masa bodoh," katanya. "Orangtuaku tidak akan datang. Jadi biarkan aku pulang sendiri."

Nick meraih tas ranselnya yang berada di samping, mengalungkan sebelah tali pada bahu. Sang guru konseling pun tak menghalanginya, maka Nick anggap urusan telah selesai.

Setelah keluar dari ruang guru menyusuri koridor, dari jendela yang berjajar hampir di seluruh sisi dinding, semburat cahaya warna oranye kemerahan yang berasal dari langit dan matahari terbenam mewarnai seisi ruangan. Nick pun memasangkan tali ranselnya yang satu lagi, kemudian mempercepat langkahnya agar segera pulang dan makan camilan yang sudah dipikirkannya sejak jam pelajaran pertama.

Begitu melewati toilet siswa laki-laki, Nick mendengar sesuatu. Anehnya adalah suara itu berasal dari suara pria dewasa dan seorang anak perempuan.

Nick menempelkan telinga pada pintu toilet.

"Ayo, tidak apa-apa," ujar pria itu dengan persuasif. "Kita, 'kan, sudah biasa begini."

Anak perempuan yang diajak bicara menangis sesenggukan.

Adrenalin dengan cepat menguasai Nick. Anak itu membanting pintu terbuka dengan amarah luar biasa besar. Pria keparat itu, pria tua bertubuh kecil yang adalah kepala sekolah SD Lambert dan membelakangi pintu, kaget setengah mati sampai tubuhnya berguncang. Tangannya segera menutup kemaluannya sambil menoleh ke belakang. Dia memelototi Nick yang sudah tersulut api membara.

Di balik pria itu, seorang anak perempuan seusia Nick dengan rambut keriting dan kulit gelap terpaku. Tubuhnya gemetar hebat yang membuatnya tidak tahu harus berbuat apa.

Nick tercengir lebar, matanya membelalak. Sosoknya yang saat ini dipenuhi darah dan memar di wajah terlihat seperti boneka pembunuh yang pada zaman itu sedang ramai dibicarakan orang-orang.

"Wah, wah. Pak kepala sekolah, kok masuk ke toilet siswa? 'Kan sudah ada toilet guru yang tidak boleh dipakai kami para murid. Jadinya tidak adil, dong?" ujar Nick dengan santai.

Santai menurut Nick adalah mimpi buruk bagi sang kepala sekolah. Pria itu segera memasukkan kemaluannya ke dalam celana dan mundur perlahan. "Kenapa kamu masih ada di sini sore-sore begini, Bocah?!" bentaknya.

Nick tidak menghiraukan. Dia melirik pada anak perempuan yang masih ketakutan bahkan menangis saja tidak mampu. "Kamu, sini," perintah Nick pada anak perempuan itu. Anak itu pun segera berlari ke arah Nick.

Namun tiba-tiba saja kepala sekolah menjambak rambut keriting anak perempuan itu sehingga sepatunya berdecit kesat tapi tetap terpeleset. Anak perempuan itu menjerit sengsara. Kepala sekolah terkekeh, mencoba memberanikan diri menantang Nick walau cara bicaranya gemetaran. "Memangnya kamu bisa apa, Nick? Aku ini kepala sekolah. Aku bisa menghancurkan prestasimu. Persetan dengan orangtuamu, mereka bahkan tidak pernah datang ke sini. Sebenarnya mana peduli mereka denganmu?"

Ancaman itu pura-pura menakuti Nick. Dia meletakkan kedua tangan pada pipinya yang masih berdenyut mengerikan. "Ooh, takut. Takut aku, kalau sampai orangtuaku tahu aku anak bermasalah di sekolah. Tapi saat mereka mengetesku, ternyata otak pintar itu tetap berada di sini." Nick menunjuk kepalanya dan tersenyum miring. "Jadi coba saja lakukan. Begitu orangtuaku mengumpulkan semua bukti bahwa sekolah ini memanipulasi prestasiku, reputasi kalian akan terjun bebas. Mengerti?"

Kepala sekolah berdecak. "Lalu sekarang apa? Kamu akan melapor polisi?"

Pertanyaan itu terdengar seperti undangan bagi Nick. Dia justru semakin melangkah masuk. Untuk membangkitkan suasana, dia sengaja melangkah perlahan pada sang kepala sekolah yang terlihat mulai gentar.

"Tidak perlu," kata Nick dengan tenang, perlahan melepas tas ranselnya dan membuangnya ke samping. "Semuanya bisa kuatasi sendiri. Dimulai dari sekarang, aku akan terus mengawasimu. Mengawasimu di ruang kepala sekolah, di kantin, saat kamu rapat, lalu pulang bertemu istri dan anak-anakmu ...."

Sepatu kepala sekolah berdecit ketika dia melangkah mundur. Susah payah dia menahan teriakan, akhirnya dia melepaskan anak perempuan itu dan kabur terbirit-birit dari toilet.

Anak perempuan yang Nick selamatkan masih syok, bahkan sampai jatuh terduduk di lantai toilet yang dingin. Nick tidak langsung menghampirinya. Dia berbelok ke wastafel untuk membersihkan wajahnya yang masih kotor oleh darah. Perlahan dia menyeka air di wajah dengan kerah kemeja seragamnya yang berwarna putih meskipun sedikit menyakitinya. Dia pun meremas celana untuk mengeringkan tangan. Lalu dia kembali mengenakan tasnya.

Sesudah itu dia menawarkan tangan pada anak perempuan yang masih mengamatinya dalam diam. "Maaf, wajahku menyeramkan, ya? Yuk, kuantar pulang." Nick nyengir lebar, tapi setelah itu meringis kesakitan.

Anak perempuan itu pun dibantu berdiri. Ternyata tingginya cukup jauh dari Nick yang masih belum melewati masa pubertas. Dan akhirnya anak perempuan itu bisa menangis. Dia berusaha mengatakan sesuatu tapi masih tersendat-sendat.

Nick perlahan mengajaknyaberjalan. "Siapa namamu? Aku Nicholas Lincoln, bisa dipanggil Nick saja."

Eyes of the Damned [2018]Where stories live. Discover now