Act 003: Part 1

11 2 0
                                    

Saat keluar dari kamar, Nenek menunggunya dan mengajaknya turun bersama. Di saat itu Yuka dapat mendengar suara Nick berbicara di ruang televisi bersama ayahnya Yuka. Suara ayahnya berat dan serak, sangat khas hingga jika baru pertama kali bertemu pasti sangat mudah terngiang di kepala sampai beberapa hari ke depan. Ayahnya tertawa terbahak-bahak ketika berbincang dengan Nick sedangkan cowok itu terdengar tidak antusias menjawab.

Mereka semua bertemu di ruang televisi, kecuali Kakek. Ferus duduk di karpet dengan ransel siap di bahunya. Nenek tiba-tiba melotot dan menyuruh Ferus kemari dengan gerakan tangan yang kasar dari jauh. "Heh, sini!" katanya.

Ferus pun mendekat pada Nenek, seketika telinga Ferus pun dijewer. "Sekolah, sana. Sudah jam berapa ini?! Kukira sudah kusuruh berangkat tadi dan biar Nenek yang panggil Yuka, kamu benar-benar berangkat."

"Aduh—aku tidak akan berangkat kalau Nick tidak berangkat!" erangnya.

Nick yang duduk di sofa satu dudukan menoleh ke arah Yuka dan yang lain. Seketika ayahnya Yuka yang sedang ribut sendiri berhenti bicara dan melihat ke belakang. Dia pun lekas berdiri dengan senyum semringah berbinar-binar.

"Yukaaa, anakku! Ke mana saja kamu pergi semalam?" Pria yang tingginya nyaris mencapai dua meter itu segera menghampiri Yuka dan memeluknya erat. Sikapnya yang riang gembira sangat berlainan dengan pakaiannya yang berkelas: setelan jas panjang mencapai mata kaki berwarna hitam dengan bahan kain lining warna merah tua di baliknya, lalu di dalamnya mengenakan setelan jas, rompi serta celana berwarna abu muda kecokelatan, dasi berwarna bata, dan kemeja biru muda elegan.

Yuka hampir mati karena sesak napas dan tidak bisa menjawab pertanyaan ayahnya.

Nick pun berdiri, lalu mengambil ranselnya yang diletakkan di lantai. "Oke, sekarang kamu bisa pulang bawa anakmu. Dan jangan lupa transfer uang untuk misi itu."

Yuka berusaha melepaskan diri dari ayahnya. "Tunggu, kalian saling kenal?"

Ferus tertawa kencang. "Bukan cuma Nick. Satu keluarga ini kenal dengan ayahmu. Tapi, siapa juga yang tidak kenal? Pemimpin DHS? Astaga, Nick salah memilih lawan!"

Tampak Nick sedikit jengkel, tapi entah mengapa Yuka tahu di balik raut wajahnya dia sedang menutup malu. "Mana kutahu Yuka itu anaknya Paman Ethan. Lagi pula dia tidak pernah cerita tentang mengadopsi anak."

Pantas saja ayahnya Yuka dengan mudah menemukannya. Tapi omong-omong, jadi semudah ini keluarga ini melepas Yuka kembali pada ayahnya? Yuka baru saja akan angkat bicara, tetapi ayahnya lebih cepat darinya. "Sekali lagi aku bersyukur Yuka bertemu denganmu, Nick. Dan tentu saja terima kasih pula untuk keluarga Jones yang senantiasa menyambutnya dengan hangat." Pria berjanggut cokelat bercampur uban itu pun tersenyum tulus pada Nenek dan Ferus.

Ferus cengar-cengir sedangkan Nenek membalas, "Untung saja rupanya hanya terjadi kesalahpahaman, ya. Omong-omong bukan bermaksud apa pun, tapi bolehkah Nick segera berangkat sekolah? Karena kalau dia tidak berangkat Ferus pun tidak mau berangkat."

Ayahnya Yuka pun terbahak. Tangannya yang besar meraih kepala Ferus untuk kemudian mengacak-acak rambut ikalnya yang sudah dari sananya sulit diatur. "Aku mengerti. Nick selalu menjagamu, 'kan?"

Ferus mengangguk seperti anak kecil. "Hanya kadang dia menyebalkan."

Nick tidak menggubris apa pun, dia lewat di antara mereka berempat menuju pintu ke luar. Entah apa yang ada di pikiran cowok itu, tapi Yuka menangkap Nick tidak menikmati pertemuan mereka saat ini. Yuka pun ikut memisahkan diri dari mereka untuk menghampiri Nick yang sedang memasang sepatu. Yuka mencolek pundak Nick sampai mendapatkan perhatian setengah hati dari cowok itu. Sementara Yuka mengesampingkan cara cowok itu memandangnya dengan risi.

"Nick, terima kasih sudah menolongku. Tapi aku benar-benar berharap tidak kembali lagi ke rumahku."

Nick masih tampak tidak peduli. "Ayahmu bilang kamu hanya anak nakal yang ingin melihat dunia luar tapi malah ingin mencoba pergaulan bebas. Lagi pula aku tidak mau berurusan lebih lanjut dengan pria itu."

"Pergaulan bebas?" Yuka mengatakannya dengan jijik. "Tunggu. Apakah kamu ada masalah pribadi dengannya? Padahal Ayah kelihatannya sangat menyukaimu," tanya Yuka penasaran.

"Ayahmu memang menyukai semua orang, 'kan?" Nick telah selesai memasang sepatunya yang lusuh, kemudian berdiri. Yuka yakin warna sepatu itu semula berwarna hijau tosca, tapi setelah tidak pernah dicuci sejak dibeli warnanya berubah pudar nyaris ke abu-abu.

Saat ini jantung Yuka berdegup sangat cepat. Hal itu membuat napasnya menjadi tidak beraturan. "T-tunggu. Boleh kita bertukar kontak? Aku mohon. Mungkin jika lain kali aku butuh kabur aku bisa meminta tolong padamu."

Nick berdecak jengkel. "Kamu baru saja memintaku untuk repot lagi mengurusimu?"

Cowok ini ... benar-benar menjengkelkan, pikir Yuka. Andai dia bisa mencuri ponsel cowok itu dan memaksa mereka bertukar kontak. Ya, Yuka tahu dia mungkin akan merepotkan Nick sekali lagi—bahkan berkali-kali lagi. Dia tahu saat ini dirinya sangat menyebalkan. Namun untuk sementara dia tidak memiliki orang asing yang bisa dijadikan tempat bernaung, dan apakah Nick tidak merasa simpati terhadap itu?

"Dengar," Yuka bicara dengan tegas, "Andai Ferus tidak ikut-ikutan mengobrol lama di situ sejujurnya aku lebih sudi bertukar kontak dengannya. Tapi masalahnya hanya kamu di sini yang memisahkan diri. Kalau ayahku sampai tahu aku bertukar kontak dengan seseorang ponselku mungkin akan dibuang olehnya."

Sebelah alis Nick terangkat. "Begitu?"

"Ya!" Yuka pun melihat ke belakang, tampaknya kali ini ayahnya dan Nenek serta Ferus benar-benar akan selesai berbincang. "Ayo!"

Nick memutar bola mata. Dia pun mengeluarkan ponsel dari saku celana denimnya yang berwarna biru muda. Yuka pun segera mengeluarkan ponselnya sehingga mereka dengan singkat bertukar kontak. Jantung Yuka yang sedari tadi berdetak panik kini serasa lebih leluasa walau tangannya gemetar hebat. Sepertinya Nick menyadari ketakutan luar biasa yang melanda pada Yuka, tapi cowok itu masih berkonflik dengan dirinya sendiri antara ingin peduli atau masa bodoh. Sama seperti ketika dia memutuskan untuk menolong Yuka malam itu daripada hanya menjadi saksi yang membawa pulang rasa bersalah. Yuka paham betul hal itu, dia bisa membayangkan posisi Nick jika terjadi padanya.

"Jika ada hal yang dibutuhkan, sebagai gantinya aku akan mengusahakan membantumu." Yuka memberikan keyakinan penuh dengan mencengkeram kuat lengan Nick. "Percayalah. Dan aku sangat berterima kasih padamu."

Sebisa mungkin Nick tidak mengekspresikan apa pun. Dia dengan perlahan menyingkirkan lengannya dari Yuka, dan tepat saat itu ayahnya Yuka, Nenek, dan Ferus menghampiri mereka.

"Ayo kita pulang, Yuka," ujar ayahnya dengan senyum secerah matahari pagi ini.

Eyes of the Damned [2018]Where stories live. Discover now