Act 001: Part 2

35 6 6
                                    

Tak terasa sudah pukul setengah sebelas malam ketika Nick akhirnya tiba di distrik tempatnya tinggal.

Sebuah apartemen kecil di sebuah persimpangan dikerumuni warga dan polisi serta sebuah mobil yang memiliki stiker berbeda dengan kepolisian. Stiker itu bergambar logo simplifikasi mata merah; hanya terdiri dari beberapa lingkaran berwarna merah dan garis-garis di tengah yang menunjukkan gambar mata sederhana tapi elegan. Mata tersebut berada di tengah gambar perisai dengan sayap membentang di sampingnya. Dan terakhir, di bawahnya tertulis: DEPARTEMEN HUKUM SUPERNATURAL. Selain itu terdapat pula ambulans yang menunggu seseorang untuk diangkut.

Tanpa disadari Nick melambat ketika dekat dengan mobil tersebut. Seseorang menyapanya dengan sebutan tidak mengenakkan yang membuat Nick mengerem dadakan.

"Hei, Anak Mantan Pemimpin DHS. Baru selesai tugas?" tanya Jeff, seorang pria gemuk yang mengenakan seragam aparat berwarna merah marun dan dilapisi pelindung serat karbon yang menyimpan beberapa senapan api. Tinggi Jeff lebih tiga sentimeter dari Nick.

Nick memelototinya. "Bisakah kamu tidak menyebutkan itu keras-keras?" Di saat itu pula Nick menyadari beberapa aparat DHS sempat teralihkan fokusnya pada Nick.

Jeff mendengus geli. "Loh, kamu tidak bangga menjadi anak emas?"

Nick tak menggubris, dia memutar mata dengan jengkel, kemudian melirik pada apartemen. "Kasus apa kali ini?"

"Masih sama sejak dua tahun yang lalu," ujar Jeff dengan acuh tak acuh. "Hei, kudengar saudara angkatmu sama seperti korban-korban ini, ya? Seseorang yang Diberkati? Kamu harus berhati-hati menjaga saudara angkatmu."

"Setiap hari memang harus ada yang diresahkan kecuali kalau dia sudah di rumah. Tapi kalian benar-benar belum menemukan petunjuk sedikit pun tentang pelakunya?"

Jeff sekadar mengedikkan pundak. "Paling-paling dia korban makhluk halus yang mencoba merasukinya, 'kan?"

Fokus mereka kini tertuju pada korban jiwa yang akhirnya berhasil diturunkan dari apartemen dengan tandu. Korbannya adalah wanita, mungkin seusia dengan Jeff—tiga puluh tahunan. Kondisi sang korban membuat jantung Nick mencelus. Mata korban itu terbelalak seakan siap keluar. Darah mengalir dari rongga matanya. Mulutnya pun ternganga lebar, juga memuntahkan darah hingga berlepotan di gaun tidurnya yang berwarna putih. Dadanya naik tinggi, kaku tidak bisa digerakkan sedikit pun. Tampak seperti sesuatu menyedot paksa nyawanya dalam keadaan menyiksa.

"Hei, Bocah. Pulanglah. Besok sekolah, 'kan?"

Kata-kata Jeff mengejutkan Nick, sadar dari lamunannya. Dia pun tertawa sinis. "Tidur tiga jam sudah menjadi makanan rutin. Kalian bekerja menjadi alat negara yang betul, dong. Mengerikan, tahu, punya saudara angkat yang Diberkati juga dan harus kujaga. Jangan sampai pelakunya mampir ke rumahku."

Jeff menyemburkan udara dari balik bibirnya yang gemuk. "Siapa bilang kami tidak becus, hah? Sudahlah. Pulang kamu, anak payah!"

Nick pun menggeleng-geleng. Berusaha tak memedulikan Jeff, dia segera mengendarai motor.

Lalu benaknya serta-merta membayangkan korban barusan.

Biarpun mengenakan sarung tangan kulit tetap membuat ujung jari-jemarinya dingin. Jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya, matanya tidak dapat fokus ke jalan yang sepi. Dia pun menarik napas sedalam-dalamnya dan membuangnya secara perlahan melalui mulut. Suhu dingin bekas pergantian musim dingin ke musim semi masih menusuk tulang-belulang. Uap mengepul lebat ketika dia menghela napas.

Ingatan mengenai korban itu kembali ke dalam benaknya.

"Tidak, tidak. Fokus." Nick mengerjap cepat dan menggeleng-geleng. Berusaha fokus pada pemandangan di depannya.

Eyes of the Damned [2018]Where stories live. Discover now