Part 37 I Ajakan

51 6 0
                                    

Hampir tiga puluh menit Andra betah berada di ruang menggambar. Itu dia lakukan biasanya karena guru mata pelajaran yang mengajar di kelasnya berhalangan hadir dan sebagai gantinya memberi banyak tugas untuk dikumpulkan. Di ruang menggambar, Pak Eka tidak mempermasalahkan kehadiran Andra yang kerap kali datang tiba-tiba. Andra seakan menjadi siswa pengecualian di tengah guru seni rupanya sedang mengajar dan melatih para siswa lainnya, yang tak lain adik-adik kelas Andra sendiri.

"Oke materi gambar perspektif kali ini sudah kalian mengerti ya? Tugas minggu depan, kalian menggambar linear perspektif. Tahu kan menggunakan apa?"
"TITIK LENYAP PADA GARIS YANG MEMUSAT PADA SATU TITIK YANG TERLIHAT..." Serempak semua murid di ruangan menjawab, kecuali Andra yang hanya mengulum senyum mendengar suara nyaring bersamaan dari adik-adik kelasnya.

"Oke Baguss...." Pak Eka mengembangkan senyum seraya menutup manual booknya.

Setelah Pak Eka menutup mata pelajaran dengan salam, semua murid membaur berduyun bertahap ke luar ruangan. Hanya para siswa perempuan saja yang sengaja memperlambat langkah mereka hanya untuk bisa sedikit lebih lama menatap wajah kakak kelas tampannya yang tampak tak acuh itu.

"Heey masih aja bergerombol di sini? Ayo bubar...bubar!!" Pak Eka mengibas-ngibaskan kedua tangannya sementara objek yang menjadi pusat perhatian para gadis hanya memasang wajah datar dan terkesan tak sadar.

Para siswa perempuan pun berdesakan berlarian malu-malu ke luar ruangan, wajah mereka tetap semringah meski gurunya sampai blakblakan mengusir mereka.

"Dra..enggak nyadar anak2 perempuan pada caper-caper lihat kamu!"

"Ooh?" Andra menoleh ke sekeliling lalu menggeleng samar seraya menghentikan kegiatan menggambarnya demi menghormati gurunya.

"Henteu pekaan ah!" gurau Pak Eka menggunakan kata bahasa sunda sambil dia tertawa lalu pamit ke luar meninggalkan Andra.

Sepersekian detik Andra merasa bingung melihat tingkah guru seni rupanya. Tapi dia mengangkat bahu dan memutus let's focus on the most simple art yaitu menggambar lagi.

Keheningan yang menyerap dan merayapi, tanpa sadar menjadi media terapi bagi pikiran Andra saat ini. Dia merasa cukup rileks ketika sudah membuat coretan abstrak lalu mengubahnya menjadi sketsa hingga menguraikannya menggunakan tekhnik persfektif. Meski dirasa sudah cukup, tetap saja Andra merasa senyuman yang lepas itulah pemenang yang tidak ingin dia ingkari.

Krieeet....Ceklek.... Suara dari arah pintu masuk tiba-tiba refleks memudarkan segala hal yang ingin dipikirkannya lebih dalam. Andra memutar kepala, iris matanya berserobok dengan mata Kiran yang hendak berjalan menuju ke tumpukan beberapa kertas canson yang tersisa di ruangan.

Keduanya tak saling menyapa, mereka seakan enggan untuk memulai sekadar membuka suara. Andra tetap santai mengerjakan lagi aktivitasnya. Begitu pun Kiran, meski dia memasang wajah yang murung, gadis itu melangkah cepat ke luar ruangan setelah mendapatkan kertas yang dibutuhkannya tanpa berpamitan pada Andra.

Andra menghela napas panjang. Dia menghentikan gerak tangannya saat Kiran sudah tak tampak lagi dipandangannya. Dia mengusap pelan tengkuknya, merasa akhir-akhir ini pikirannya sedikit berat dan melelahkan.

Flashback .....

Saat Andra masih di Kopital Seduh bersama Nado, Farhan rupanya terus mencoba menghubungi Andra. Telepon dari Farhan terus bergetar sudah sebelas kali di ponsel Andra. Sampai akhirnya Nado memberikan satu nasihat yang cukup membuat pikiran Andra menjadi tersentil

"Lo tau enggak Dra? Selain istilah enggak ada yang namanya bekas anak. Di ajaran agama kita juga udah diajarin, enggak ada yang namanya orangtua durhaka ke anak. Yang ada juga, anak durhaka ke orangtua. Segimana pun lo benci sama Bokap lo, kalo Bokap lo pengen ketemu, temuin aja dulu. Urusan hati hancur belakangan, seenggaknya siapa tau di situ lo bisa punya lagi kesempatan buat keluarin unek-unek lo tanpa Nyokap lo denger.

Meet You (Serendipity)Where stories live. Discover now