Part 48 I Tak Bisa Menghindar

60 6 0
                                    

Sachi terus mengurung diri dalam kamarnya. Dia ingin sekali mengenyahkan segala pikiran yang mengganggu sedari siang tadi. Kenapa dia harus cemburu? Logikanya terus menegaskan untuk dia harusnya bisa menunjukkan sikap dan pikiran yang wajar. Tapi sialnya hatinya terus saja menariknya pada rasa perih yang dia sendiri merasa frustasi dengan perasaan-perasaan asing itu.

Bunyi getar telepon dan notifikasi pesan yang masuk ke aplikasi chat, nyatanya memberikan efek dilema pada dirinya.Dia ingin sekali menonaktifkan ponsel genggamnya, tapi gadis di batinnya terkesan uring-uringan dan seolah mengatainya kekanak-kanakan. Sachi menggeser posisi ponselnya yang semula di sisi meja belajarnya menjadi tepat di depan mata. Sachi tak mau menjawab telepon atau membalas pesan masuk dari pemuda itu.

Apa reaksinya berlebihan?

Sachi mendengkus kencang, segala teori pelajaran Sosiologi dan Sejarah nyatanya tak satu pun yang masuk ke otaknya dengan sempurna.

Malam ini Sachi merasa marah pada dirinya sendiri.

----

Andra mengurut pelipisnya perlahan, dia mencoba tetap tenang saat usahanya menelpon Sachi selalu sia-sia.

"Gue bilang juga apa kan? Enggak semudah itu si Kiran lepasin lo." Nado menyesap manis minuman favoritnya vanilla latte yang menurutnya membawa efek menenangkan. "Lo tahu Dra? Kenapa gue suka minuman ini selain emang karena gue suka sama serbuk cokelatnya?"

Andra yang tampak tak berminat mendengar rentetan seputar vanilla lattenya Nado, hanya mengangkat bahu seraya memutar-mutar malas ponselnya yang tergeletak di atas meja.

"Karena dari susu steamed inilah yang mengubah karakter susu di vanilla latte gue menjadi lebih tenang dan mampu menurunkan tingkat depresi," imbuh Nado dengan ekspresi serius namun terselip ketengilan di dalamnya.

"Gue enggak lagi depresi kali," decak Andra sambil menunjukkan raut memalaskan.

"Lo tuh lagi depresi situasional. Buktinya di tempat nongkrong aja lo enggak sampe nafsu makan minum."

"Jadi menurut lo di depan muka gue, ini bukan jenis minuman?" sindir Andra.

"Ya air putih doang mah di rumah juga bisa Dra.." imbuh Nado menggeleng-gelengkan kepala.

"Sok tau lo!"

"Temuin Sachi, Dra.." Kali ini wajah Nado menjadi lebih serius.

Andra melipat kedua tangan, kali ini punggungnya dia biarkan menyandar ke sandaran kursi. "Iya, gue juga mikir kesitu. Gue enggak mau dia salah paham."

"Tau enggak sih? Lo sendiri bisa pede mencemaskan cewek itu bakal salah paham. Tandanya sebenernya lo udah yakin juga kan? Sachi emang punya perasaan yang sama kayak lo."

Andra menghentakkan napasnya " Rasanya rumit Do." Ada jeda sebelum kembali melanjutkan kalimatnya." Tapi kalo dipikir-pikir yang lo pernah bilang ke gue...ada benernya juga. Gue harusnya lebih mikir panjang dulu sebelum terbuka soal perasaan gue ke Sachi. Soal Kiran, soal Bokap dan soal-soal lainnya yang belum bener-bener gue beresin. Kasian kalo dia musti ngertiin gue terus." Andra memutar kepalanya menghadap ke samping, sejenak dia berusaha menutupi guratan risaunya ke luar jendela.

"Kalo saran gue Dra, enggak usah ada penyesalan, dihadapin aja. Ngomong baik-baik ke Sachi soal kejadian sama Kiran. Terus kalo lo udah lihat responsnya kayak apa. Baru lo putusin, mau mundur dulu atau tetap lanjut nungguin seperti yang lo janjiin ke dia." Kedua tangan Nado sengaja memberi tanda kutip pada kata janji.

Andra lantas menghela napas panjang, dia merasa selalu bodoh ketika harus berhadapan dengan urusan cinta. Meski begitu, tetap saja dia tidak ingin menjadi jauh lebih bodoh dari Papanya.

Meet You (Serendipity)Where stories live. Discover now