5. Persepsi Eunha

2.1K 365 9
                                    

Pagi-pagi banget Eunha udah boncengan sama papanya menuju sekolah. Seminggu ini ia akan datang sangat pagi, jika mau jalan bersama ayahnya itu. Papanya akan ada pelatihan dinas kurang lebih satu minggu, makanya mengharuskan ia berangkat lebih awal. Sebenarnya jarak ke tempat pelatihan gak searah sama sekolah Eunha tapi papa mamanya gak mau anak tunggal mereka kenapa-kenapa jadi berusaha yang sebaik mungkin. Kayak madol, mungkin.

Lagian kalau Eunha gak bareng papanya bisa terlambat karena ojek online setiap pagi bakal ramai.

"Jangan tidur, Dek." Papanya mengingatkan.

"Hm, siapa yang tidur."

Bukan tidur, sih. Tapi matanya terpejam beberapa kali, akibat bangun lebih pagi. Ditambah angin sepoy-sepoy yang berembus sepanjang jalan membuat matanya tak kuasa terbuka lama-lama.

Papanya lebih suka berkendara motor dibanding mamanya yang senang make mobil. Jalanan masih sangat sepi, jadi papanya bisa berkendara dengan kecepatan tinggi. Beda banget sama biasanya yang padat merayap. Tidak ada setengah jam, dia telah sampai di sekolah.

Eunha rapihin rambutnya sebentar ketika hendak turun motor, lalu mencium tangan papanya.

"Masih sepi, nggak papa kan kamu?" tanya papanya.

"Takut, tapi mau gimana lagi." Suaranya sok imut banget, ewhh.

"Manja." Tuhkan bapaknya aja geli.

"Hati-hati, Papa jangan ngebut." Papanya hanya mengacungkan jempol. Kemudian berlalu meninggalkan sekolah.

Eunha sih nggak yakin sama respons papanya itu karena doi suka ngebut. Hari biasanya yang padat merayap aja papanya masih sempet berkendara dengan kecepatan tinggi. Papanya itu PNS yang absennya harus jam setengah tujuh pagi, tapi mereka baru jalan jam enam lewat sepuluh setiap hari dan butuh waktu kurang lebih 25 menit untuk di sekolah papanya ngajar. Syukurnya, mereka tak pernah telat.

Tenang aja, semua itu bisa diatasi dengan trik-trik berkendara oleh Papa Eunha. Mau tau? Setelah kesan dan pesan berikut ini. Nggak deng, bohong hehehe.

Kening perempuan berambut sebahu itu berkerut kala tak ada susu di bangkunya. Susu itu emang nggak setiap hari dateng, sih. Dan hari ini dia berharap susu cokelat ada di bangku karena belum sempat sarapan. Kan lumayan kalo ada, bisa sarapan gratis.

Orang itu pasti berpikir jauh sebelum memberi susu pada Eunha setiap hari. Mungkin saja nggak mau Eunha bosan atau gimana.

"Hmm bisa jadi kayak gitu." Ia bergumam sendiri dengan suara kecil.

"Na, udah ngerjain tugas Sejarah Minat?" Suara bariton dari samping kirinya membuat Eunha tersentak.

"Eh ternyata elo udah dateng, Ming gue kira baru gue sendirian." Dia tersenyum kikuk. "Udah," lanjutnya.

Eunha itu rajin sama pelajaran di luar ekonomi dan matematika. Seenggaknya kalau udah tau kekurangan kita di bidang apa, kita harus menutupinya dengan kemampuan pada bidang lain. Begitulah prinsipnya.

"Nomor dua essay nyari di mana?" Mingyu dapat melihat lawan bicaranya mencari buku tulisnya di tas.

"Gue cari di internet sama campurin dikit dari catetan Bu Luna. Ada kok," jawab Eunha. Sebenarnya dia heran lantatan soal yang ditanya Mingyu itu termasuk mudah. Kok tumben cowok itu nanya jawaban yang mudah?

"Oh ada lo juga nyari di internet? Gue jawab dari buku paket doang, gapapa kali ya?"

"Ya elah, gapapa kali. Malah bagus jawaban lo bisa dipertanggungjawabkan kalo ditanya sama Bu Luna." Eunha makin heran karena Mingyu khawatir sama jawaban yang udah diisi. Hmm Eunha anggap itu sebagai basa-basi. "Ming, kalo itu ada yang datengnya lebih pagi dari lo nggak?" Dengan hati-hati Eunha bertanya seperti itu.

Choco Milk ✓Where stories live. Discover now