15. Gak Berguna

1.7K 319 7
                                    

Eunha dijemput papanya di tempat les tepat pukul tujuh. Kalau hari Jumat karena mulai jam dua, jadi pulangnya jam lima. Kalau hari Rabu mulai jam empat, pulangnya jam tujuh. Eunha boleh ambil tambahan buat konsul dan biasanya dia minta waktu dua jam paling maksimal, misalnya belum paham materinya ya udah besok lagi.

Eunha gak mampu kalau otaknya dipaksa terus-terusan belajar, kecuali kalo dia emang pengen tau maka dia bakal cari sampai dapat.

Badannya yang lelah itu seketika sirna saat melihat sekotak martabak keju tergantung di bagian depan motor papanya. Eunha suka banget sama makanan yang satu itu, apalagi kalau kejunya banyak dan masih hangat. Jadi pengen ceper-cepet sampai rumah.

Lima belas menit kemudian, mereka sampai di rumah. Eunha turun lebih dulu untuk membuka gerbang. Dilihatnya mobil orang tua dia sudah terparkir, berarti mamanya juga sudah pulang.

"Kita pulang," ucapnya ketika membuka pintu utama.

Mamanya nengok sebentar terus terpaku lagi sama laptop di depannya.

"Mandi dulu, Dek, Pa. Mama beli pecel ayam di jalan," kata sang Mama tanpa memperhatikan Eunha lagi.

Eunha cuma ngangguk terus berlalu pergi. Keluarganya memang jarang sekali masak. Kalau mamanya masuk gini mereka lebih sering beli di luar karena gak sempet masak. Mungkin kalau mamanya masuk agak siang baru deh bisa masak. Sedangkan untuk keperluan beres-beres rumah, mencuci, setrika dan sebagainya. Mama dan papa Eunha sepakat untuk menyerahkan pekerja itu untuk orang lain tapi hanya beberapa jam saja, bukan menginap.

Melihat kesibukan orang tuanya, Eunha gak pernah protes secara langsung. Dari kecil dia dikasih tau kalo ini semua buat kebahagiaan Eunha. Buat beli susu vanila, cokelat, dan makanan lain kesukaan Eunha. Ketimbang mainan, dari dulu dia lebih suka beli makanan.

Eunha coba buat ngerti. Tapi semakin gede usianya gini mulai ngerasa kalo dia butuh mereka bukan cuma sekedar buat menuhin kebutuhan materi aja. Tapi juga untuk kesenangan batinnya. Eunha diurus sama asisten pas dia kecil sampe kelas satu SMP, asistennya milih buat pulang ke kampung karena mau menikah. Karena Eunha udah bisa ngapa-ngapain sendiri akhirnya Eunha ditinggal sendirian sampe sekarang.

Eunha gak pernah mau protes secara langsung, paling cuma ngebatin doang. Takut durhaka. Ditambah lagi kedua orang tuanya yang udah kerja keras gitu, masa iya mau diprotes? Gak sopan dan menghargai banget dong.

Dituruninya anak tangga satu per satu dan ternyata orang tuanya sudah menunggu di ruang makan. Kebiasaan leletnya juga berlaku di rumah, gengs.

Seenggaknya satu hal yang dia syukuri: masih bisa berkumpul dengan keluarga di waktu makan malam.

"Lama ya nunggu Eunha?" Eunha duduk

Eunha duduk di salah satu kursi yang ada di sana. Membuka bungkusan pecel ayam yang ada di hadapannya.

"Kamu tuh emang kebiasaan, lama," ujar mamanya sambil menyuap makan malam mereka.

"Kayaknya cuma lima belas menitan doang," bantah Eunha. Mulutnya penuh dengan nasi selagi ia bicara.

"Nasinya telen dulu." Papanya mengingatkan dengan nada datar. Eunha cuma nyengir, dia banyak ngomong dalam kondisi apa pun. Dan kondisi mulut penuh makanan gitu paling gak disukain sama papanya.

"Dua puluh lima menit, Dek," koreksi mamanya. Eunha gak sadar, lama banget ya dia bersihin diri doang sampe hampir setengah jam. Padahal gak keramasan.

Sisanya mereka bungkam. Eunha bingung mau cerita apa ke orang tuanya. Papanya juga gak terlalu suka kalau lagi makan kebanyakan ngomong.

Saat udah selesai, mereka membereskan bungkusannya. Gak. ada perabotan rumah yang terpakai jadi gak perlu cuci-cuci, palingan cuma gelas dan itu bisa dicuci besok.

Choco Milk ✓Où les histoires vivent. Découvrez maintenant