Chapter 22 - Darkness

12.7K 759 33
                                    

"Ck, bajingan" umpat Lisya sambil memegang tangannya yang baru saja dioperasi kembali mengeluarkan darah.

Lisya melihat sekelilingnya,dan apa yang ia lihat tidak terlalu membuatnya terkejut. Ia berada dibalik jeruji sekarang,hanya saja tempat ini terasa begitu asing.

Lisya mendengar suara telapak kaki bergema,ia segera waspada dan segera mengeluarkan sebuah alat yang pernah diberikan Alex untuknya. Lisya pun menekannya,dan tak lama sebuah sautan asing terdengar di telinganya.

"Aku tak sebodoh itu, Lisya"suara tersebut terdengar dari alat miliknya dan terlihatlah seseorang dari balik jeruji miliknya.

"Alvano?" Bingung Lisya

"Kenapa? Terkejut?" Tanya Alvano sambil tersenyum remeh

"Kau? Sejak kapan mengikuti hal seperti ini?" Tanya Lisya bingung

"Mac? Kau tahu? Dad menyuruhku untuk mencarimu lewat dia dan ya...aku sangat senang ketika tahu dia mati dan aku mendapatkan hampir seluruh kekayaannya...dan kau tahu juga dad telah mati dan aku yang akan mewarisi seluruh harta kekayaannya bahkan perusahaan nya" ucap Vano dengan bangganya

"Ck,hanya segitu saja kemampuan mu? Bahkan harta yang kau dapatkan bukan dari hasil kerja kerasmu sendiri,dan kau bangga dengan hal itu? Menjijikan" ucap Lisya dengan santainya membuat muka Vano memerah menahan marah dan malu.

"K..kau!!!" Vano segera membuka jeruji besi dengan sidik jarinya dan dengan segera mencekik Lisya dengan keras hingga kepalanya menghantam tembok dengan keras hingga mengeluarkan darah yang cukup banyak.

Lisya hanya terdiam sambil terus menatap mata Vano. Vano hanya tersenyum sinis melihat muka Lisya yang memerah.

"Sudah lama aku ingin membunuhmu dan ini saat yang tepat bukan? Kau akan mati dengan cara yang mengenaskan" ucap Vano dan mulai mengangkat tubuh Lisya yang masih tercekik dan membantingnya dengan keras ke lantai.

Uhuk uhuk uhuk

Jujur saja cekikan Vano sangat kuat membuat ia hampir saja benar benar kehilangan napas.

Vano kembali mencekik Lisya dan membanting kepalanya ke lantai. Darah keluar semakin banyak dari kepalanya,belum lagi luka di tangannya semakin terbuka membuat darah hampir memenuhi ruangan tersebut.

Lisya masih terdiam membuat Vano semakin geram.

"Kenapa diam saja,huh!!" Vano menarik baju Lisya dan membantingnya kembali.

Vano mengeluarkan pisau lipat dari balik kantongnya dan mengarahkannya pada Lisya.

Srek

Satu sayatan tepat mengenai wajahnya,Lisya hanya memejamkan mata tanpa berbicara membuat Vano semakin geram.

"Kau tak mau berbicara,huh?!!!" dan tetap saja Lisya diam tanpa memperdulikan ucapan Vano.

Vano kembali mengarahkan pisaunya ke wajah Lisya, tapi kali ini ia menggores tepat di bibir bawah Lisya. Lisya meringis kecil tapi tetap saja suasana ruangan yang sepi membuat suara sekecil apapun terdengar. Vano tersenyum bangga melihat hasil karyanya.

Vano kembali mengarahkan pisaunya tepat ke perut Lisya. Ia menaikkan sedikit baju milik Lisya dan menggoreskan pisau nya perlahan namun dalam ke perut Lisya.

Kali ini Lisya tidak dapat menahan suaranya lagi.

Akhh

Vano yang mendengar nya semakin bersemangat dan menusukkan pisaunya semakin dalam.

"Ber..henti" ucap Lisya lirih. Ini benar benar sakit. Tidak seperti dugaannya, ternyata Vano lebih sadis dari yang ia kira.

Vano yang mendengarnya reflek berhenti dan langsung menatap wajah Lisya. Terbesit rasa bersalah melihat adiknya sendiri ia siksa,hatinya menolak tapi egonya lebih besar dari apapun.

Vano melempar dengan kasar pisau miliknya dan menyeret tubuh Lisya keluar dari jeruji tersebut dengan kasar. Jejak darah terlihat dengan jelas di lantai. Lisya yang diseret keluar oleh Vano sempat sesekali kepalanya terbentur beberapa barang.

Lisya hanya pasrah dan memejamkan matanya berharap Alex datang tepat waktu.

Cukup lama ia diseret entah kemana,ia merasakan tanaman mulai menyentuh kakinya. Ia membuka matanya dan melihat sekelilingnya. Samar samar matanya melihat pepohonan berada di sekelilingnya. Tak lama tubuhnya terasa dibanting ke pohon dengan kasar, kepalanya semakin berdenyut ketika sebuah ranting tajam tepat mengenai luka di kepalanya.

"Pergilah..." Suara Vano terdengar di telinganya. Matanya menangkap tepat di mata milik Vano, mereka saling bertatap. Lisya melihat mata milik Vano yang menunjukkan rasa bersalah. Tak lama Vano memutuskan kontak matanya dan segera pergi meninggalkan Lisya sendirian disana.

Lisya dengan sisa tenaganya berusaha menjauhi tempat tersebut dengan menyeret tubuhnya sebisa mungkin. Hari sudah semakin gelap dan tubuhnya semakin lemah. Jaketnya sudah diambil entah dimana sekarang. Bahkan handphone nya pun tidak ada yang pasti membuat Alex kesusahan mencarinya.

Hanya ada satu cara untuk menemukannya, dengan jejak darah yang keluar dari tubuhnya, dan ia yakin Vano sudah menghapus jejak darahnya.

Ia berjalan tanpa arah,ia hanya berharap menemukan apapun yang bisa dimakan. Perutnya benar benar sakit dan tenggorokannya terasa sangat kering.

Ia menyenderkan tubuhnya pada pohon yang cukup besar. Ia mendongak dan mendapati sebuah warna yang berbeda dari daun yang sepanjang jalan ia lihat. Ia menajamkan matanya yang sudah mulai memburam untuk melihat objek asing yang terlihat di matanya.

Ia tidak salah melihat,pohon yang saat ini ia pakai untuk bersandar adalah pohon apel.

Lisya tersenyum samar,tapi saat ini bagaimana caranya ia mendapatkan apel tersebut jika tubuhnya saja tidak bisa dibuat untuk berdiri. Ia hanya bisa menunggu keajaiban datang, berharap apel tersebut jatuh dan ia dapat mengambilnya dengan mudah.

Saat ini ia hanya bisa terdiam, tubuhnya sudah benar benar lemah,kakinya pun sudah lecet akibat menyeret tubuhnya untuk berjalan.

Lisya menyenderkan kepalanya ke batang pohon tersebut dan mendongak, matanya sedikit menyipit melihat cahaya mengenai tepat di matanya. Lisya tersenyum samar.

Bulan purnama. Hanya bulan yang saat ini menemaninya. Tak lama suara lolongan serigala terdengar,burung hantu pun saling bersahutan menambah kesan di malam ini semakin terasa.

Tak lama setetes air keluar dari mata Lisya. Lisya menangis,setelah sekian lama sejak terakhir ia menangis.Ia tersenyum samar, pandangan nya semakin memburam karena air mata yang terus menggenang di kelopak matanya.

Tak lama Lisya menutup matanya. Setidaknya jika ia mati sekarang pun,ia mati dalam keadaan yang tidak terlalu mengenaskan. Ia masih bisa melihat langit malam dan bulan untuk terakhir kalinya.

Lisya tersenyum dan tak lama kegelapan menjemputnya. Entah ini kegelapan yang hanya sementara atau selamanya.

***
Btw makasih ya 50k+ readers nya gak nyangka balik" udah dapet segitu aja.

Kira kira mau SAD or HAPPY ending nih? Thor sih kepikiran mau buat Sad ending biar seru.

Lisya [End]Where stories live. Discover now