Chapter 23 - END(?)

13.8K 775 23
                                    

Tak

"Ssshhh" ringis Lisya yang tiba tiba terbangun. Sesuatu benda tepat mengenai kepalanya dan itu cukup sakit mengingat ada luka di kepalanya.

Lisya mengerjapkan matanya,cahaya matahari dengan kuat menembus matanya. Lisya melihat sekeliling dan keadaan masih sama seperti sebelumnya.

Tak tak

Kembali sesuatu benda mengenai kepalanya membuat kepalanya semakin sakit.

Lisya mendongak ke atas sambil memegang kepalanya yang masih terasa sakit dan melihat pohon apel yang kemarin sempat ia lihat.

"Huh?" Bingungnya,ternyata tidak hanya satu pohon apel saja yang ia lihat. Banyak sekali pohon apel berjajar disekitarnya. Tidak hanya pohon apel buah buahan yang lain pun ada disini dan kabar baiknya lagi, sekarang musim panen terlihat dari beberapa buah buahan yang mulai berjatuhan karena sudah matang.

Lisya yang melihat apel di dekatnya segera mengambil nya dan tanpa basa basi segera memakan buah tersebut dan tentu saja dibersihkan terlebih dahulu walau hanya dengan menggunakan tangan. Ia tidak peduli mau seperti apa nanti keadaan perutnya yang penting sekarang perutnya terisi terlebih dahulu.

Sudah banyak buah-buahan yang dimakan Lisya dari apel,jambu,maupun mangga pun ada. Mungkinkah Vano sengaja menelantarkan dirinya di hutan yang penuh dengan buah-buahan agar dirinya tidak kelaparan?

Lisya mencoba berdiri tapi lagi lagi usahanya gagal dan malah makin memperburuk keadaan tubuhnya karena perutnya kembali mengeluarkan darah. Belum lagi tangannya yang memiliki luka yang cukup lebar membuat batas pergerakan Lisya semakin terhalang.

Ia merobek sedikit bajunya,lebih tepatnya setengah dari bajunya untuk menutupi luka di tangan dan perutnya. Ia mengambil beberapa akar yang dapat dijadikan tali untuk mengikat kain untuk menutupi luka nya nanti.

Lisya sedikit meringis,lukanya tidak bisa dibersihkan mengingat keadaan tubuhnya saat ini membatasi pergerakan nya. Ia sedikit merasa takut bahwa lukanya akan terinfeksi karena lukanya yang bisa dikatakan dalam. Belum lagi buah sialan yang tadi sempat mengenai kepalanya menambah rasa pening dikepalanya.

Lisya berhasil menutupi lukanya yang terus mengeluarkan darah. Mukanya saat ini sudah pucat karena kehilangan banyak darah. Bibir dan tenggorokan nya terasa sangat kering. Ia tidak mempunyai persediaan apapun saat ini. Hanya buah tanpa air tentu saja makan tanpa minum membuat tenggorokannya kering dan ia benar benar membutuhkan air sekarang.

Lisya kembali melanjutkan perjalanan tanpa arahnya dengan membawa beberapa buah untuk perbekalannya nanti.

Ia kembali menyeret tubuhnya dengan bertelanjang kaki. Kakinya kembali lecet karena kerikil yang terus menggores kakinya.

Ia berjalan tanpa arah,tidak berpikir kejadian apa yang akan menimpanya kedepan. Saat ini tujuannya hanya ingin bertahan hidup, walaupun saat ini ia tidak tahu jika ia berhasil bertahan mau melakukan apa lagi. Ia tidak memiliki tujuan hidup selain bersama dengan Alex saat ini.

Tanpa ia sadari,ia terus menyeret tubuhnya sambil melamun tanpa memperhatikan jalan yang ia lalui di depan. Sebuah lubang yang tertutupi dengan daun dan ranting berhasil menjebak Lisya. Ia terjatuh ke dalam lubang yang cukup dalam. Kepalanya terbentur bebatuan,kaki dan tangannya tergores ranting tajam.

"Sial, bagaimana ini? Lubangnya dalam sekali" ucapnya khawatir.Sial, baru saja ia senang karena bisa mengisi perutnya yang kosong. Sekarang mendapatkan cobaan lagi dengan terjebak di dalam sebuah lubang.

Lisya melihat sekeliling dan menemukan satu buah apel yang sempat ia bawa tadi ikut jatuh bersamanya.

Setidaknya ia masih bisa bertahan beberapa hari ini dengan satu buah apel yang ada digenggamnya sekarang.

Hari semakin panas matahari sudah tepat berada diatas kepala. Wajah Lisya sudah sangat pucat sekarang, keringat terus mengucur dari tubuhnya. Entah karena saking hausnya,dan setengah apel yang sudah sempat Lisya makan pun semakin mengering karena udara panas yang membuat kandungan air di apel tersebut berkurang.

Sangat haus. Lisya yang kekurangan darah dan air hanya bisa terduduk lemas. Ia mencoba menahan laparnya saat ini. Setengah apel harus ia sisakan untuk besok. Lisya benar benar kesakitan saat ini. Hari semakin sore dan Lisya memutuskan untuk tidur demi menahan laparnya.

Lisya memejamkan matanya dan sesekali membayangkan jika tanah yang saat ini ia tempati akan menjadi tempat peristirahatan terakhirnya.

Lisya kembali meneteskan air mata. Kenapa begitu banyak kesedihan yang ia terima dalam hidupnya? Ia ingin bahagia. Bahagia yang tidak untuk sementara,apakah tuhan begitu kejam memberikan sebuah cobaan untuk anak sepertinya, dibandingkan keluarganya,keluarganya lebih banyak melakukan kesalahan tak termaafkan dibandingkan dirinya. Ia tidak lebih dari seorang anak polos yang tak tahu apa-apa,sebelum dunia mengubahnya menjadi manusia yang kejam. Ia tidak lebih dari seorang anak yang rapuh,ia hanya ingin bahagia. Apakah sesulit itu? Bahkan ia sekarang mulai memikirkan apa Alex benar benar mencarinya saat ini? Atau ia hanya dipermainkan oleh Alex dan membiarkan dirinya terkubur hidup-hidup di lubang ini.

Ia benar benar tidak bisa tidur saat ini. Terlalu banyak pikiran yang terus menghantuinya. Perutnya semakin sakit karena seharian hanya memakan setengah buah apel.

Tes tes

Lisya membuka matanya terkejut,air tepat mengenai pipinya. Ia mendongak dan mendapati langit yang mulai mendung dan tetesan air pun semakin banyak mengenai tubuhnya. Lisya meringis kala tetesan air tersebut tepat mengenai kepalanya yang terluka.

'Cobaan apalagi,tuhan?!! Apa kau ingin menyiksaku lagi dengan air hujan ini? Apa tak cukup aku tersiksa menahan luka dan lapar di tubuh ku saat ini?' sepertinya ucapan Lisya dihiraukan. Hujan turun semakin deras, ia menggigil. Rasa dingin ini tidak sebanding dengan air hujan yang terus mengenai lukanya. Bajunya sudah robek setengah dan itu membuat perutnya dapat dengan mudah terkena air. Baju yang ia pakai saat ini tidak cukup tebal,bahkan tergolong sangat tipis hingga menjiplak bagian atas tubuhnya.

Lisya menggigil kedinginan. Tanah tempat ia untuk bersandar semakin lunak.

'Apa kematianku benar benar seperti ini? Terkubur hidup hidup di dalam tanah yang dingin? Hidupku sudah benar benar hancur tuhan. Tidakkah kau terlalu berlebihan menghukum seperti ini? Kesalahan apa yang aku perbuat tuhan hingga siksaan yang kau berikan semenyakitkan ini?' batin Lisya menjerit pilu

Ia rela menahan sakitnya kematian, tapi apakah ini tidak terlalu berlebihan? Ia lebih berharap mati ditangan kakaknya Vano daripada harus menahan sakit yang ia rasakan sekarang.

Lisya menangis,benar benar menangis sekarang. Jika saja hujan tidak meredam suara tangisnya sekarang. Hewan hewan dihutan pun mungkin akan merasakan tangis pilu seorang Lisya yang benar benar menyayat hati. Lisya menangis sekencang-kencangnya.

"Ini benar-benar sakit...Alex..hiks.. tolong aku.." lirih Lisya

Akhh

Uhuk uhuk

Tanah yang sudah terkena air hujan tersebut perlahan-lahan mulai turun. Lisya yang tak bisa menghindar pun tertimpa tanah tersebut. Cukup banyak hingga kakinya tenggelam oleh tanah yang bercampur air. Air pun sudah mulai menggenang hingga bagian dadanya.

Inikah akhir hidupnya? Benar benar mengenaskan bukan? Tapi setidaknya ia masih sempat melihat bulan dan merasakan indahnya langit malam sebelum ia benar benar mati disini.

Air semakin menggenang dan sekarang sudah mencapai lehernya,bahkan lebih mengharuskan ia mendongak untuk tetap menghirup udara. Badannya benar benar mati rasa saat ini.

"Hiks... goodbye Alex..."

***

Lisya [End]Where stories live. Discover now