Dia Sudah Pergi

22 0 0
                                    

Aku menoleh pada Surya yang menatap lurus pada Ibu. Dia membuka mulut, seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi urung. Bibirnya kembali rapat. Aku mendekati Ibu dan menuntunnya ke meja makan.

"Kita sahur dulu ya, Bu."

"Bapak sudah dibangunkan?" Itu pertanyannya yang kesekian.

"Bapak tidak ikut sahur dengan kita pagi ini, Bu."

Wajah itu berubah, memerah. Aku tidak tahu arti perubahan warna pada wajah Ibu. Kulihat dia menunjuk ke tengah meja, aku membantunya mengambil nasi dan lauk.
***
Pagi itu Surya menggedor pintu kamarku. Aku masih mengantuk karena rasanya baru beberapa saat lalu mataku terpejam. Mata yang seketika terbuka lebar saat kulihat wajah Surya di balik pintu, memutih.

"Temani aku ke rumah sakit, jangan bilang Ibu dulu!"

Aku tidak mandi, ganti baju dan bergegas menyusul Surya ke depan. Udara pagi itu membuatku mengigil duduk di belakang Surya. Semakin menggigil saat pegawai kamar mayat membuka kain putih itu dan tubuh Bapak terbaring di sana dengan wajah pucat.
***
"Daisy, mana sambalnya, Bapakmu takenak makan kalau takada sambal."

Sudah Ramadan ketujuh, Ibu berpikir Bapak masih ada. Sementara tiga bulan lalu kami mengantar Bapak ke tempat istirahat panjangnya, setelah seseorang membuatnya terpelanting di jalanan. Ingatan Ibu menolak kenyataan itu.

Aku dan Surya akhirnya memutuskan mengajak Ibu ke pusara Bapak. Matahari belum tinggi, angin berembus halus. Ketenangan pagi itu sepertinya merayap dalam jiwa ibu.

"Bapak sudah pergi, Bu. Dia tidak akan sahur dan berbuka puasa lagi dengan kita." Surya sangat hati-hati mengucapkan itu.

Di depanku, Ibu mengusap nisan Bapak. Matanya yang kosong kini basah. Tidak ada isak, hanya dua sungai kecil yang membasahi pipi Ibu yang memerah.

Sidoarjo, 28 April 2020

#Fiksi_Mini_Ramadan
#Day-5

Kumpulan Fiksi MiniWhere stories live. Discover now