Kumpulan Fiksi Mini

Waktu

Aku memilih waktu sebagai tanda bagi seseorang untuk bergerak atau diam, hidup atau mati. Selama ini proses bergerak dan diam itu sudah kulewati. Aku bergerak saat terjaga, bisa dibilang tubuhku tak mau diam saat mataku terbuka. Kemudian tubuhku diam, saat otakku memerintahkan mataku untuk terpejam.

Kali ini aku beralih pada waktu hidup dan mati. Aku merasa hidupku sudah selesai. Saat tempatku bekerja tutup, istriku kabur membawa semua uang tabungan, maka aku melihat ini mungkin waktu yang tepat untuk mati.

Gedung bertingkat ini sudah lama ditinggalkan pengembangnya. Aku berhasil naik ke lantai delapan, kosong, tidak ada orang, paling tidak itu dugaanku semula. Dugaan yang akhirnya patah saat suara itu menahanku dari mendorong tubuhku jatuh ke bawah.

"Tunggu, Nak!"

Aku mundur dan menoleh, menatap laki-laki tua berkain sarung dengan kaus oblong putih. Ia mendekatiku, menatap wajahku sesaat lalu tersenyum.

"Saya Ismail, anak siapa?"

"Bimo, Pak."

"Mari, ada sesuatu yang ingin saya tunjukkan!"

Bagai dihipnotis aku menurutinya. Kami duduk di atas tikar dan ia mulai bercerita. Sesuatu itu ternyata sebuah mihrab di sudut lantai ini, tempat dia menyelesaikan tugasnya di penghujung hari.

"Gedung ini harusnya sudah selesai beberapa bulan lalu. Tapi partner bisnis saya membawa semua dana yang ada dan hanya meninggalkan saya bersama gedung mangkrak ini. Maka di sinilah saya."

Sunyi, lalu terdengar kembali, "Kalau saya mau mati, mudah, tinggal terjun dari lantai ini, selesai. Tapi apa benar selesai? Saya hanya akan merepotkan banyak orang. Mereka yang tidak mengenal saya akan dipaksa mengurus tubuh saya yang hancur. Bukankah itu konyol?"

Kini ia terdiam cukup lama.

"Kautidak boleh mati di sini, tidak boleh terjadi."

Kupikir kutunda dulu saja rencanaku. Masih ada waktu. Sayup, azan magrib terdengar di kejauhan.

"Nah, saya tidak tahu kamu puasa atau tidak, tapi mari temani saya berbuka."

Sidoarjo, 17 Mei 2020
#Fiksi_Mini_Ramadan
#Day_24