Prolog

198 12 5
                                    

"Apa ini?"

Sepucuk kertas berwarna merah jambu teracung. Perkataan papa selalu terdengar seperti bentakan. Sebagai komandan pasukan batalyon infanteri di TNI angkatan darat, intonasinya yang nyaring dan suaranya yang menggelegar, acapkali meluluhlantakan sisa-sisa keberanian yang dipunya.

Duduk menciut di atas sofa ruang keluarga, tubuhku agak gemetaran.

"Nggak tahu, Pah." Lirikanku jatuh pada sepucuk surat yang berada di genggaman papa. Entah apa isinya. Sebelum kubaca, sudah keburu disita duluan. Kasihan sekali kandidat pacarku.

"Bohong! Pasti surat cinta dari pacar kamu, kan?" tuduh papa, sengit.

"Aku mana punya pacar, Pah. Main aja nggak pernah," gumamku sangat pelan, nyaris seperti bisikan. Kesempatan bermainku yang berharga adalah sepanjang perjalanan pulang atau pergi ke sekolah. Di luar itu, tidak boleh. Great. Aku harus siap-siap jadi jomblo seumur hidup.

"Diam! Berani bantah, kamu!" Telunjuk papa menuding ke arahku, membuatku berjengit. "Coba lihat nilai rapor kamu. Percuma aja Papa suruh les tiga kali seminggu!"

"Pah, sudah, Pah..." Dibanding papa, suara mama mirip decitan. "Nilai Ayla tergolong bagus kok, Pah. Rangking dua di kelas bukan pencapaian yang mudah."

Duduk di sebelahku, mama membela.

"Iya, tapi seharusnya dia bisa lebih baik lagi, Ma!" teriak papa.

Lama-lama, kurasakan napasku menyesak. Baru teringat, perutku belum mendapat asupan apa-apa dari kemarin malam. Aku terlampau sibuk belajar. Keringat dingin mulai bercucuran. Bolehkah aku beristirahat? Pandanganku mulai berkunang-kunang. Kulihat papa mondar-mandir di hadapanku, masih berapi-api menyerukan nasihat yang sama.

"Hidup di Jakarta itu keras. Jangan berani-berani pacaran sebelum juara umum! Kalau mau sukses, ikuti saran Papa! Kamu anak Papa satu-satunya. Jangan sampe ngecewain. Nggak usah ikut-ikutan teman-teman kamu, main nggak jelas. Kamu harus belajar!"

Bosan. Aku letih. Aku kelaparan.

Belum cukupkah aku belajar?

Andai aku jadi batu, udara, pohon... Apa saja. Apapun itu tidak masalah. Kepalaku sakit sekali hingga rasanya mau pecah. Lama-lama, omongan papa semakin tak jelas. Pandanganku tiba-tiba menggelap.

Aku tak ingat apa-apa lagi.

Ketika terbangun, aku sedang dikelilingi papa dan mama. Samar-samar, kulihat suasana familier. Tembok yang serba pink, koleksi boneka Hello Kitty di atas meja belajar. Ah, rupanya ini kamarku.

"Ay, kamu nggak apa-apa?" Suara lembut mama mendayu. Netraku tak bisa fokus sementara mulutku membuka, ingin mengatakan aku baik-baik saja. Anehnya, tak ada suara yang keluar, kecuali racauan bisikan-bisikan yang hanya bisa didengar olehku sendiri.

Lalu, aku kembali tergolek tak sadarkan diri.

Semenjak itu, kunjungan ke dokter dilakukan. Betapapun berusaha, aku tetap kesulitan tampil di depan banyak orang. Keringatku menderas. Terasa ada sesuatu yang menyangkut di tenggorokan, terutama jika mendapati orang asing di sekitar, termasuk papa. Tak jarang, aku kehilangan kesadaran. Bukan hanya sekali-dua kali, aku meringkuk dalam ketakutan. Tak tahu apa yang salah.

"Kemungkinan Ayla hanya mau berinteraksi dengan orang-orang yang membuatnya nyaman. Banyaknya tekanan mental selama bertahun-tahun telah memicu trauma di alam bawah sadarnya." Seorang dokter kejiwaan mengamati keadaanku yang terbaring di tempat observasi.

"Meski gejalanya ringan, ini kasus yang jarang terjadi. Mudah-mudahan hanya sementara, tidak perlu sampai terapi wicara. Asalkan penyebab gelisahnya dihilangkan."

Maka entah bagaimana, aku jadi terpaksa cuti dari kegiatan sekolah lantaran mama terus menerus mengajukan surat ijin. Aku masih sering pingsan. Dan, hari demi hari berlalu. Berkat kebijakan pihak sekolah, aku boleh mengerjakan segala ujian dan tugas-tugas di rumah sampai akhirnya berhasil lulus SMP.

Aku belum bertemu papa lagi semenjak kejadian pingsanku tempo hari. Kabarnya, papa mendapat tugas dadakan hingga harus dinas keluar pulau selama beberapa tahun.

"Ayla, Papa titip salam..."

Mama memberitahu setiap mendapat telepon dari papa, tetapi tak pernah kurespon.

Lambat laun, keberanianku muncul. Setiap bertemu dokter sebulan sekali, perasaanku menjadi lebih baik. Aku akan menceritakan segala aktivitas keseharianku lalu mereka balas memberiku pujian, tak peduli hal seremeh apapun.

Sampai suatu ketika, setelah hampir tiga bulan lamanya, kondisi fisik dan mentalku berangsur normal. Mama sangat gembira. Saking bersemangatnya, beliau mengajakku pindah rumah.

"Ay, ayo kita pindah ke kampung halaman Mama. Suasananya damai banget. Kamu pasti bakal betah sekolah di sana."

Dari sanalah kehidupan baruku sebagai remaja bermula. Suatu tempat di kawasan Bandung Selatan, Jawa Barat yang terkenal dengan perkebunan teh dan tempat wisatanya.

Aku pernah mendapatkan kalimat paling sederhana, tapi keberadaannya bisa mengobati hati yang patah. Setidaknya, dimata gadis berusia enam belas tahun yang terpaksa pindah sekolah ke daerah pedesaan, lantaran mengalami gangguan kecemasan.

"Hai, Ayla. Namaku Rio. Aku KM di sini. "

Kupandangi seraut wajah tampan yang dibingkai netra berbentuk bulan sabit. Sorot matanya yang meneduhkan, mengirimkan kesejukan di padang gersang hatiku. Sekilas, wajahnya mengingatkanku pada aktor negeri ginseng yang sering kutonton di drama televisi. Tangannya terjulur, mengajakku bersalaman.

"Kalau ada apa-apa, jangan sungkan. Panggil aku." Si tampan itu berkata ramah.

Andai saat itu aku tahu kalau dia akan menjelma menjadi poros dunia kecilku. Pasti akan kugenggam erat dan takkan kulepaskan lagi.

Selamanya, senyum manisnya tak dapat kulupakan. Dia membuat hari-hariku di sekolah terasa begitu menyenangkan.

***

Until The End (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now