Sweet Temptiness

52 2 1
                                    

Rio mengerling dari balik bahunya. Terhalang beberapa meja dari tempatnya berdiri sekarang, tampak Ayla duduk manis, bergamis serba navy lagi, sembari memalingkan wajahnya ke luar jendela.

Rasanya agak aneh. Senang tapi canggung.

Rio tidak menyangka Ayla akan secepat ini mengiyakan ajakannya bertemu. Hanya berselang satu hari. Rio malah sempat mengira whatssap nya tidak akan dibalas.

Sore itu, Ayla sedang off mengajar. Kerjaan Rio juga tidak banyak. Maka, mereka pun janjian bertemu di kedai bakso favorit Rio yang lokasinya tak jauh dari kantornya. Sesuai permintaan Ayla.

"Pesan yang biasa kan, Pak? Bakso campur sama teh manis hangat?"

Rio kembali memusatkan perhatian pada Mas kasir di hadapannya. Senyumnya terulas. "Iya, tapi hari ini ada tambahan satu lagi. Bakso yamin dipisah kuahnya satu. Jus alpukat satu. "

Ternyata, selera Ayla tidak berubah. Selalu bakso menjadi pilihan menu jajan di luar. Begitu pula dengannya. Kesamaan-kesamaan ini membuat Rio merasa jarak yang memisahkannya dengan Ayla mendekat setindak.

"Oh, iya, siap!" Kasir tersebut mengangguk-angguk dan nyengir penuh arti setelah sebelumnya melirik Ayla.

Di meja, Ayla merenungi bahasan lama yang belum usai.

Antara perasaan atau logika. Mana yang akan lebih menyelamatkannya? Takdir ibarat hukum kehidupan. Setiap pilihan yang kita ambil akan mendatangkan sebab akibat. Kita tak tahu ke mana hidup akan membawa kita dan apa yang akan kita terima.

Kembalinya Rio adalah sebuah pertaruhan besar. Bisa jadi kesempatan kedua, atau mungkin gas air mata. Ayla memang belum bisa menebak maksud Rio mengajaknya ketemuan. Apa hanya sekedar ingin bernostalgia atau ada hal-hal lain. Tetap saja dia harus bersiap-siap.

Sayatan dalam hatinya belum sembuh sempurna, jangan sampai tertaburi garam...

"Maaf, lama, Ayla..."

Rio membawa senampan pesanan ke atas meja. Ayla menoleh, lalu tertawa kecil melihatnya.

"Kok ngambil sendiri? Lagi nyambi jadi waiter apa gimana, Pak? Sungguh konsumen yang mandiri."

Setelah berkata seperti itu, Ayla terperangah kaget. Sudah lama dia tidak nyeplos bercandaan ringan dengan lawan jenis, kecuali pada Hasan, ketika mereka jalan-jalan bertiga bareng Diandra. Semenjak menutup aurat, dia memang pelan-pelan membatasi interaksi dengan lawan jenis.

"Iya, lumayanlah buat nambah-nambah duit jajan..." balas Rio, sudut mulutnya naik. Sambil berhati-hati memindahkan mangkok-mangkok dan gelas ke atas meja.

Ayla bergegas membantu. Memindahkan botol kecap, saus dan sambal supaya tak menghalangi.

"Tahu tuh, si Mas. Mentang-mentang aku sering makan di sini. Udah nggak kagok nyuruh-nyuruh. Self service, katanya. Untung nggak diminta cuci piring sekalian di belakang."

Rio pura-pura bersungut-sungut sembari duduk, bersiap makan.

"Nggak apa-apa. Kalau lagi bokek kan bisa minta ngutang, " celetuk Ayla, tertawa.

Rio ikut terbahak. "Bener juga. Pinter kamu, Ay!"

Ayla yang sedang menambahkan semangkuk sambal ke atas piring, mengerling Rio sekilas. Ini pertama kalinya dia mendengar panggilan "Ay" dari mulut Rio, sama seperti teman-teman yang lain. Padahal, biasanya selalu nama lengkap. Entah kenapa, jadi berasa tidak spesial. Muncul sedikit rasa kecewa di hati Ayla.

"Mm, Rio, aku boleh nanya sesuatu nggak?" tanya Ayla ragu.

Rio mengangkat wajah dan menjeda suapannya.

Until The End (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now