A Hidden Secret

35 2 3
                                    

"Kapan kamu sakit?" Muka Rio memias. Ia bertanya. Menatap wajah mantan istrinya itu yang sudah basah oleh air mata.

"Setelah si kembar lahir, perutku mulai nggak beres. Tiap haidh, rasanya kayak mau mati." Maya menyusut wajah menggunakan ujung kain hijabnya. Geletar dalam suaranya menyatakan kepiluan.

"Mungkin, harusnya aku control ke dokter. Tapi kondisi keuangan kita waktu itu masih naik turun. Aku nggak mau membebani kamu. Jadi, aku menahan diri. Aku pendam semuanya sendiri. "

Rio serius mendengarkan. Tidak mau menyela barang sepatah katapun. Hanya isak tangis Maya yang terdengar dan terjeda sebentar karena kedatangan bi Yani.

"Baksonya saya taruh di dapur ya, Bu, punten..."

Mengerti situasi sedang genting, bi Yani tergopoh-gopoh masuk ke dalam rumah, tak mau mengganggu.

"Kata dokter, ada jaringan parut di rahimku, efek cesar. Harusnya aku menunda kehamilan. Tapi, aku malah keburu hamil Silva. Ketika kerjaanku stabil, dokter bilang perlengketannya sudah menyebar sampai ke usus. Nggak ada jalan lain selain pembedahan."

Sembari menahan kegetiran, Maya berusaha tertawa. Ia balas menatap Rio yang memandanginya dengan raut wajah terpukul. "Kamu ingat? Aku pernah dapat tugas luar selama seminggu. Itu karena aku harus operasi. Sekarang, aku nggak bakal bisa punya anak lagi. Mana ada laki-laki yang mau sama aku..."

Tetes air mata Ayla berjatuhan tanpa suara. Hatinya serasa diremas-remas. Adegan yang sekarang sedang berlangsung, amat jauh dari khayalannya. Segala bentuk kemungkinan terburuk menyergap. Ia yakin Rio tidak akan berlepas tangan. Semenjak remaja, Rio adalah laki-laki paling bertanggungjawab yang pernah ia kenal.

Sementara Rio kehilangan kata-kata. Rahasia yang dibeberkan Maya merupakan tamparan pedih. Tapi, semuanya sudah terlanjur patah. Andai ia berlutut memohon ampun dan tangisan Maya menderas laksana sungai, tetap tak akan mengubah apa yang telah terjadi. 

Rio menyadari. Ia tidak boleh membiarkan hal ini berlarut-larut, kalau tidak mau menjadi batu sandungan dalam rumah tangganya bersama Ayla.

Ayla tidak tahu apa-apa.

Tidak ada jalan lain selain egois!

"Maafin aku..." kata Rio, menundukkan wajah, memandangi lututnya sendiri.

"Hanya itu?" tanya Maya, menyeringai sinis.

"Selain permintaan maaf dan mengganti biaya pengobatan, nggak ada yang bisa aku tawarkan lagi, " tutur Rio.

"Kamu benar-benar kejam, ya. "

Rio bergeming mendapat tudingan itu. Tidak berusaha menyangkal.

Maya menghela napas panjang. Ia tahu. Mungkin, di mata Rio apa yang pernah mereka arungi adalah neraka. Tidak kurang, tidak lebih. Tapi baginya, cerita mereka belum berakhir.

"Baik. Kamu boleh berbuat semaumu." Maya bangkit berdiri. Ia berjalan ke ruang tamu dan kembali dengan membawa sebuah koper di tangannya. "Tapi, aku juga akan berbuat semauku. Kebetulan, aku ngambil cuti dua minggu. Besok aku akan datang lagi buat ketemu anak-anak," katanya.

Rio tidak melarang atau mengiyakan. Nanar, Maya menatap tak percaya lelaki yang selama delapan tahun merenda cerita bersamanya itu. Perubahannya begitu drastis. Jadi, begitu, ya. Rupanya lelaki itu telah memutuskan bersikap dingin hingga akhir.

Tanpa berucap apa-apa lagi, Maya menarik kopernya dan berjalan pergi.

Kemudian, semuanya hening.

Setelah Maya tak kelihatan lagi, Rio menyenderkan punggung ke kursinya. Perasaan bersalah menghantui jiwa. Tidak ada jenis manusia paling buruk dibandingkan lelaki yang menyakiti seorang perempuan. Apalagi wanita itu telah mengorbankan segalanya, termasuk mempertaruhkan nyawa. 

Until The End (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now