Hard To Say

34 1 1
                                    

Ba'da Subuh, Rio pergi tergesa-gesa supaya dapat mengejar travel ke Jakarta. Pelatihan digital marketingnya akan dimulai hari itu juga. Tampaknya selagi Ayla tertidur, dia mengepak seluruh keperluannya sendiri sehingga dapat langsung berangkat saat pagi menjelang. Rio sengaja meninggalkan mobilnya untuk dipakai Ayla ke kampus. Dan lagi, Ayla mengatakan bersedia menggantikannya mengantar jemput anak-anak ke sekolah.

Satu pesan Rio sebelum ia pergi.

"Langsung telpon kalau ada apa-apa."

Meski perasaanya bercampur aduk, ada setitik harapan di hati Ayla kalau momen ketiadaan Rio akan membuatnya lebih dekat dengan anak-anak. Tak apa walau dia hanya bisa mencoba bertegur sapa selama di perjalanan pergi dan pulang ke sekolah.

Ayla benar-benar ingin mengenal Nahya dan Navya lebih dekat. Sayang, semesta belum berpihak padanya.

"Mama...! Ayo antar kita ke sekolah, Ma! Nanti jemput juga, kita jalan-jalan, Ma!"

Belum sempat Ayla mengutarakan maksudnya, si kembar sudah lebih dulu melobi sang Mama.

Aroma kelezatan masakan menguar di seluruh ruangan. Maya datang pagi-pagi sekali demi membuatkan sarapan. Celotehan riang si kembar yang sesekali ditanggapi tawa mamanya, sangat menggambarkan citra keluarga harmonis. Sama sekali tidak memberikan ruang bagi siapapun untuk masuk, walaupun Ayla terlihat beberapa kali mondar-mandir dari toilet ke kamar.

Jauh di sanubari, sebenarnya Ayla kehilangan rasa percaya diri. Harus berada di tempat baru yang masih asing, dikelilingi orang-orang yang tak memedulikannya. Tapi dia menabahkan hati.

Di dalam kamar, dia sedang berkutat menyiapkan diktat dan laptop untuk dibawa ke kampus, ketika kalimat Maya terdengar lumayan kencang.

"Bentar, bentar. Mama mau telpon Papa. Mau tanya alamat sekolah kalian."

"Bukannya Mama udah tahu. Kan dulu pernah ikut Papa nganterin kita."

Entah Nahya atau Navya yang berbicara. Ayla belum bisa membedakan suaranya.

"Soalnya Mama lupa. Halo, Assalamualaikum, Pah. Sekolah anak-anak dimana, sih? Minta alamatnya, aku mau anterin mereka."

Ayla terpaku mendengar panggilan 'Papa' itu. Hanya sesaat, sebelum tangannya kembali sibuk menyiapkan keperluan mengajarnya.

"Jangan terpengaruh." Hiburnya pada diri sendiri. "Hubungan mereka sudah selesai."

"Biar aku ajalah. Nggak usah ngerepotin orang lain. Kamu tenang-tenang aja di Jakarta. Udah sarapan, belum? Aku sengaja datang pagi mau buatin sarapan favorit kamu. Eh, kamunya udah keburu pergi. Nanti deh, aku buatin lagi pas kamu pulang."

Mengernyitkan alis, Ayla menarik napas dengan berat. Sulit sekali buatnya berhusnudzon saat ini. Pasti Maya sengaja. Maya berniat memprovokasinya.

"Astagfirullah, faghfirliii, Ya Rabb..." gumam Ayla. Dia tak boleh gegabah dalam bertindak, terlebih ada anak-anak. Terbayang kalau dia terpancing, akan jadi seperti apa image-nya di depan anak-anak.

Ibu tiri tukang marah? Ibu tiri yang kejam?

Allah...Ayla tak mau dicap demikian.

Beberapa kali, Ayla menarik napas guna menyingkirkan kabut hitam di hatinya. Setelah dirasa percakapan telepon Maya sudah selesai, baru dia keluar kamar sembari menyandang ransel di punggungnya. Pandangannya menyapu ruang makan sekilas. Berpikir apa sebaiknya dia berpamitan. Ya, sebaiknya begitu. Itulah adab kesopanan. Mulutnya baru akan membuka saat ponselnya malah berbunyi nyaring.

Mata Ayla langsung membulat melihat tulisan yang tertera di layarnya itu.

Dari Rio.

Kalau Ayla berniat balas dendam, ini pasti kesempatannya. Tapi, tidak. Dia tidak boleh menurunkan levelnya karena kuatir tersaingi. Badannya diputar balik memasuki kamar. Dari sudut mata, sempat terlihat Maya menatapnya curiga.

Jemari Ayla bergerak cepat menekan tombol hijau.

"Asalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Ay, kamu udah berangkat ngampus?"

"Mm, belum."

Ada jeda sebentar. Ayla menebak, pasti Rio sedang berpikir.

"Kalau Maya ngomong aneh-aneh, nggak usah didengerin. "

Ya... Tentu. Apalagi diresapi ke dalam hati, bisa-bisa bikin meledak nanti. Ayla membatin.

"Iya..."

"Moodswing-nya itu kadang bikin bingung. Sekarang dia bisa semangat banget main sama anak-anak, besoknya bisa tiba-tiba berubah..."

Satu pernyataan yang membuat Ayla termenung. Benaknya tanpa sadar mengulang reka adegan sikap Maya seharian kemarin. Benar, Maya orangnya seaneh itu. Kesan pertama Ayla tentangnya, Maya itu sosok yang kuat dan ramah. Tapi, tak berapa lama, Maya bisa berubah cuek dan rapuh. Ayla tak bisa menahan keheranan.

"Tolong bersabar, Ay. Tunggu aku."

"Iya..."

"Kamu jangan lupa sarapan."

"Iya..."

"Cringe nggak, kalau aku bilang I love you?"

Senyum Ayla terbit. Wajahnya yang biasanya tenang, sedikit tersipu. Muncul rasa haru karena dia tahu Rio sedang berusaha menghiburnya. Ayla jadi tertarik ingin menghiburnya juga. Dia lalu balas berseloroh.

"Jijik, banget. Dasar kamu, gombal bin gembel!"

Penelpon di ujung sana tertawa. Klik. Telpon pun dimatikan.

Suasana hati Ayla menjadi jauh lebih baik. Banyak hal mungkin akan berubah, tetapi dia tetap masih ingin mengulang doa dan percaya. Semuanya pasti akan baik-baik saja. Namun, instingnya seketika bersiaga karena mendapati Maya berdiri tak jauh dari pintu kamar, seperti sengaja sedang menunggunya keluar. Lengannya bersidekap.

"Aku mau nginep mulai malam ini sampai Papa anak-anak pulang."

Lugas, Maya berkata.

Tanpa menunggu jawaban Ayla, Maya kemudian meraih tangan si kembar yang tak sudi menatap ibu sambungnya sama sekali, lalu mengajak mereka keluar.

Until The End (Sudah Terbit)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon