The Grief of Love

51 4 1
                                    

Setelah beberapa hari mengurung diri dalam kamar, tanpa sudi mengaktifkan ponsel, aku mulai menyadari apa yang salah.

Aku terlalu percaya, bahwa cinta sejati itu ada.

Bisa jadi, aku kebanyakan dijejali kisah-kisah fiksi. Dongeng tentang pangeran yang berusaha mencari belahan jiwanya ke seluruh penjuru desa, dengan hanya bermodalkan sepatu kaca. Atau Dao Ming Tse yang rela berkorban habis-habisan demi memperjuangkan cintanya bersama San Chai. Atau mungkin, karena kisah yang kualami semasa sekolah amat mirip cerita dongeng, sehingga aku terbuai dan merasa menjelma jadi tokoh protagonist yang selalu happy ending.

Apa boleh buat. Kisahku bersama Rio, sungguh benar-benar semanis itu. Setidaknya itu yang kurasakan. Rio membuatku merasa menjadi wanita paling sempurna di dunia. Lewat binar matanya saat menatapku, sikap gentleman-nya saat membelaku. Pujian manis saat orang lain mengejekku.

Singkatnya, dia memperlakukanku seperti seorang lady.

Rupanya... buat Rio semua itu bukan berarti apa-apa.

Aku merasa patah dan terhianati. Rasanya dunia berisi harapan yang susah payah kujaga bertahun-tahun, roboh dalam semalam.

Perasaanku pada Rio tidak pernah kusesali. Sebab setiap getaran hati, bebas menancapkan anak panahnya sendiri. Aku hanya menyesali kebodohanku.

"Ayla... aku janji akan berusaha jadi orang sukses. Ayo kita ketemu lagi suatu hari nanti."

Janji Rio sewaktu perpisahan sekolah.

Aku kira dia akan fokus menggapai impiannya dulu, lalu setelah sukses, dia akan menemuiku. Mengingat segala bentuk perhatiannya, aku pikir dia benar-benar mencintaiku. Nyatanya, dalam perjalanan dia malah berbelok menemui orang lain. Yah, bukan salah Rio sebetulnya. Sepenuhnya itu hak dia.

Allah. Maafkan aku... Sekali ini saja, aku ingin melontarkan umpatan untuk makhlukmu yang bernama Rio.

"Scheisse, Rio! Verdammt! Dummkopf!" makiku dalam bahasa Jerman.

Aku membuka laci meja rias, mengeluarkan sebuah kotak yang kuperlakukan seolah-olah benda pusaka. Dari dalamnya kuambil seluruh 'koleksi' ku tentang Rio.

Album foto jaman sekolah, oretan biodata di buku diary, sampai tanda tangan Rio di kertas yang sengaja kugunting dan laminating, kemudian ditaruh dalam pigura mini.

Paska kepergian Rio, aku mengumpulkan semuanya perlahan-lahan lewat perantaan Diandra dan Hasan yang dulunya merupakan anggota OSIS. Kebetulan, hanya mereka berdua yang tahu obsesi rahasiaku.

Aku cetak foto-foto kegiatan sekolah mulai dari kelas satu sampai tiga yang menampakkan Rio. Beruntung dia termasuk anak aktif di organisasi dan juga berprestasi secara akademis, sehingga koleksiku cukup banyak.

Iya, aku tahu ini hobi yang absurd. Teringat betapa histerisnya Diandra begitu pertama kali kuceritakan. Dia bahkan mengataiku, "Stalker!"

Kemarin-kemarin, aku pasti akan membela diri dan berkata, "Orang lain nggak bakal ngerti."

Namun kini, aku mengakui kekalahan. Aku tak lebih dari seorang penggemar fanatic bodoh plus keras kepala.

Kutatap satu persatu saksi kebodohanku yang kini tersebar acak di atas ranjang itu. Apa harus aku buang semuanya sekarang?

Iya, harus! Aku memutuskan memulainya dari pigura berisi tanda tangan Rio.

Senyuman getirku terulas. Diandra pernah mewanti-wantiku dengan serius soal ini. Ketika aku membawanya ke kampus, kuliah, dan mengikuti ujian CPNS. Sebetulnya, aku hanya menganggapnya penyemangat, tapi Diandra punya pendapat lain.

Until The End (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now