Speechless

74 7 1
                                    

Satu kata untuk menggambarkan perasaanku saat ini. Speechless. Beberapa detik terlewat sebelum aku mengerjap. Tersadar, ini bukanlah mimpi. Dia nyata adanya. Si pencuri hati yang bertahun-tahun hadir menghiasi bunga tidurku.

Iya, benar. Dia adalah cinta pertamaku.

"Ayla, apa kabar?" Kudengar dia menyapa, sumringah. Belum apa-apa, aku sudah merasa ingin menangis saking bahagianya.

Ralat. Saking rindunya...

Kapan terakhir kali kami bertemu? Ah, waktu perpisahan SMA. Lama sekali.

Awal tahun 2000 an, handphone masih merupakan barang mewah. Otomatis kami lost contact. Media social yang tersedia juga baru sedikit. Aku ingat dulu pernah mencoba mencari tahu kabarnya lewat friendster, tapi keberadaannya benar-benar misteri.

"Baik. Kabar kamu gimana? Sehat?" Gawat, sepertinya air mataku benar-benar akan merembes keluar. Suaraku mendadak sengau. Untung masih terhalang masker.

"Aku lagi flu." Dia tertawa renyah, menunjuk masker yang dipakainya. "Makanya aku pakai ini. "

Aku manggut-manggut. Otak ini mendadak macet. Sekian banyak kalimat yang kurangkai setiap hari, menunggu pertemuanku dengannya. Semua hal yang ingin kusampaikan, menguap tak bersisa.

"Eh, eh, eh, apa-apaan kalian. Mana kembaran pake masker, pake setelan denim jeans juga. Warnanya navy, lagi. Mau costplay Upin Ipin, emang? Eh, atau mau niru Dilan-Milea, ya? Cie, cieee...! Jangan-jangan habis ini langsung motoran berdua keliling Bandung. Jajan bakso di Lodaya!"

Seorang wanita berhijab modern dan bermata sayu, tersenyum cerah mengamatiku dan Rio. Dia memakai overall rok. Jangan tertipu dengan penampilan imutnya. Berbeda denganku, keahlian Diandra dalam mengusili orang sudah sangat terkenal dari jaman sekolah.

Seketika, aku dan Rio saling melirik kostum masing-masing. Benar juga kalau dipikir-pikir. Berdiri sebelahan begini, kami jadi terlihat seperti pasangan. Matching dari atas sampai ujung kaki, kecuali bagian kerudungnya.

Rasa panas merayapi seluruh wajah. Berupaya menyamarkan perasaan malu, buru-buru kualihkan perhatian Diandra. "Aku boleh langsung duduk apa gimana, nih?"

"Sabar, dong. By the way, maskernya buka atuh. Biar bisa saling lihat wajah, kangen-kangenan," kata Diandra jahil. "Tulis nama dulu di berkas pendaftaran, terus tanda tangan di spanduk itu."

Diandra sibuk memberikan arahan lewat telunjuknya.

Rio terkekeh. Tanpa berpikir, aku menoleh. Masker Rio sudah ditanggalkan. Side profile nya sewaktu tersenyum, membuat detak jantung ini semakin berlarian. Ternyata senyuman Rio tidak berubah. Tetap manis dan menghipnotis.

Sembari mengguratkan tanda tangan di atas spanduk berukuran lumayan lebar yang dipasang di tembok, terasa tanganku gemetaran.

Tajam, kutatap Diandra yang mengedip penuh arti padaku. Pantas. Rupanya dia sudah tahu duluan Rio akan muncul, makanya dia ngotot memaksaku datang.

Awas kamu nanti, ya!

"Rio, sini kita sidang dulu." Hasan menepuk-nepuk pundak Rio, menggiringnya duduk di tengah-tengah. "Lo sebetulnya kemana aja selama ini? Gila, sampai nggak ada satupun dari kita yang tahu. Jangan-jangan sibuk modelling di luar negeri? Makin gagah gini euy."

Omongan Hasan benar.

Kalau Rio versi remaja sudah sanggup membuat banyak gadis terpesona, maka penampilan Rio kini tak ubahnya model runway. Sekilas, auranya seperti cowok kota yang dingin. Tapi begitu tersenyum, sudut mulutnya yang mencuat langsung mengubahnya jadi sosok yang kukenal.

Until The End (Sudah Terbit)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن