Ich Liebe Dich Von Fruhe Bis Jetzt!"

61 5 2
                                    

Benar apa kata Shakespeare. Waktu akan terasa sangat lambat bagi mereka yang menunggu.

Kulirik jam tanganku. Kelas akan berakhir dalam satu jam. Daripada pikiranku melayang tak tentu arah, aku mencoba mengoreksi tugas-tugas kelas sebelah. Tapi mendekati menit ke tiga puluh, aku sudah menyerah. Meletakkan balik tumpukan kertas polio ke atas meja.

Aku pasti sudah gila!

Menyatakan cinta dengan begitu gamblang. Hey... harga diriku. Sembunyi dimana kau?!

Inilah kenapa aku tak suka kebanyakan bicara. Sekalinya rem pertahanan diri dikendurkan, bisa-bisa semua rahasia diutarakan semua. Hiks... Tamat riwayatku. Kalau sudah begini, mana bisa punya muka ketemu Rio lagi.

Kupukul dahiku menggunakan gulungan kertas folio.

Ups!

Sepintas, aku menangkap pandangan keheranan dari beberapa mahasiswa yang duduk di depanku, sedang berkumpul diskusi kelompok.

"Kenapa? Ada yang mau ditanyakan?" tanyaku dalam bahasa Jerman. Membalas tatapan mereka.

"Nein, Frau!" Mereka menjawab 'tidak' berbarengan, lalu buru-buru menunduk mengerjakan tugas.

Bagus. Tolong jangan lihat ke sini lagi! Kira-kira begitu arti tatapanku.

Jadwal mengajarku hari Sabtu tidak full. Biasanya, aku memanfaatkan hari itu untuk hunting novel-novel terbaru di toko buku, atau berwisata kuliner bersama Diandra dan suaminya. Tapi, khusus hari ini, tidak. Nanti siang, aku akan pergi ke toko baju anak-anak! Ya, benar! Aku sendiri tak percaya.

Duda keren yang satu itu mengajakku menemaninya berbelanja keperluan buah hatinya.

Ya Rabb...Mungkinkah ini cara halusnya untuk menerima perasaanku? Aku bolak-balik memutar otak memikirkan kemungkinan itu. Hmm, kedengarannya masuk akal, tapi entahlah!

***

Semakin aku pikir-pikir, takdir sungguh penuh kejutan.

Adzan dzuhur baru saja berkumandang.

Aku berjalan di parkiran sebuah mall besar di jalan Gatot Subroto, Bandung yang mencakup tempat permainan indoor layaknya Dunia Fantasi. Rio barusan mengabari, dia dan anaknya sedang menungguku di kedai es krim, persis di depan pintu masuk mall.

Tidak usah ditanya bagaimana degup di dadaku. Aku bersyukur Allah menciptakan otot jantung yang sebegitu kuatnya menopang serbuan panik yang kurasakan. Semakin mendekati bangunan mini berplafond baja ringan yang dicat warna-warni, hatiku jumpalitan.

Aku menemukan Rio memakai baju kasual berupa kaus putih dan celana jeans, sedang duduk bersama seorang gadis kecil di bangku panjang dekat kedai. Fitur wajah mungil itu mengadopsi sebagian besar karakteristik Rio. Nampak secantik boneka dengan rambut keriting sebahu yang dikepang dua. Usianya kira-kira masih di bawah lima tahun.

Masya Allah, gemas... Aku terpukau dibuatnya. Degup jantungku berangsur normal karena fokusku teralihkan. Ajaib!

Rio langsung mendongak mendengar bunyi ketoplak halus ujung sepatuku yang mendekat.

"Hei, Tante Ayla..."

Senyum manisnya menyambutku. Gadis di sampingnya ikut menoleh. Mata bulan sabitnya menatapku sambil menggenggam erat cone es krim. Ada sedikit lelehan es krim vanilla di area bibirnya.

"Hai," kubalas senyuman Rio. Lalu, aku beralih memandangi si kecil sambil ikut duduk di ruang tersisa di sebelahnya. Kujulurkan tanganku duluan pada gadis itu.

"Siapa namanya, boleh kenalan?" Sapaku ramah.

Si gadis memandangi Rio penuh tanya. Ketika papanya itu mengangguk, barulah dia menjabat tanganku.

Until The End (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now