Not An Illusion

28 2 1
                                    

Cinta terkadang bisa menjadi keajaiban. Tapi, keajaiban itu sendiri, mungkinkah hanya ilusi? Baik itu pacaran sebelum nikah atau bahkan sesudahnya, tak satupun pengalaman percintaanku yang berjalan mulus.

Mungkin, belum. Yah, kuharap begitu.

Kuteringat ucapan rekanku di ruangan dosen sebelum perkuliahan pagi dimulai.

"Bu Ayla, bulan depan saya dapat tugas dari rector ke luar daerah untuk mengisi seminar literatur. Gimana kalau ibu saja yang menggantikan?"

"Berapa hari, Bu?" tanyaku.

"Dua minggu, " jawabnya.

"Wah, gimana ya, Bu." Aku berkata was-was. Pikiranku mengembara ke rumah. "Kalau selama itu, saya nggak bisa. Kasihan anak-anak."

Semua orang di ruangan yang ukurannya tidak terlalu luas itu tak bisa menahan rasa terkejut. Beberapa dari mereka bahkan menghampiri mejaku.

"Anak-anak siapa, Bu Ay?"

Kemudian, mengalirlah cerita akad yang kujalani beberapa hari lalu. Mereka mendengarkan dengan terperangah. Mungkin tak menyangka. Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba membawa kabar pernikahan.

Serempak, semua dosen fakultas ilmu budaya langsung heboh menyelamatiku. Bagaimana tidak, satu-satunya dosen yang belum bergelar nyonya akhirnya laku juga.

"Selamat, Bu Ay. Masya Allah, Bu Ay udah ngebalap kita-kita. Anak saya baru satu, eh Bu Ay udah tiga."

"Sebentar lagi menuju empat, kayaknya, " timpal yang lain.

"Harusnya cuti atuh, Bu. Biar nggak mengganggu konsentrasi bulan madu."

"Jangan lupa banyakin suplemen madu campur telur mentah, Bu. Biar kuat begadang."

"Kalau resepsinya kapan? Kalau terlalu lama nanti takutnya keburu ngidam. Jangan lupa undang kita ya, Bu."

Terkekeh-kekeh, mereka bergantian mencandaiku. Dan kubalas hanya dengan mesem-mesem. Padahal, aku sibuk menahan rasa perih di ulu hati.

Jangankan hamil, begadang, minuman suplemen dan sebagainya itu. Melakoni malam pertama saja rasanya bagai menegakkan benang basah. Nyaris mustahil dilakukan.

Kalaupun Rio tidak sedang training di luar kota, apa tidak aneh kalau kami nekat melakukannya sementara ada mantan istri di rumah? Ditambah, si mantan isteri kelihatan jelas berharap bisa balikan. Mana ada mood yang tersisa untuk melakukannya?

Rumit.

Kugigit bibirku sendiri tanpa sengaja. Kepalaku pusing memikirkan kehidupan pernikahan yang baru seumur jagung ini. Setelah menjalani sendiri, baru terasa kekuatiran Diandra dan orangtuaku ada benarnya.

Kondisi Rio begitu kompleks. Bukan lagi Rio yang kukenal belasan tahun lalu. Kalau aku benar-benar mencintai lelaki ini, berarti aku harus siap menerima semua masa lalunya. Masalahnya, apa aku bisa?

Jemariku menggoyangkan pulpen, mengetuk-ngetukannya ke atas meja. Hawa sejuk air conditioner yang terpasang di atas papan tulis, lumayan membantuku menjernihkan pikiran. Sudahlah, putusku. Lebih baik, aku focus mengajar.

Aku berdiri, meninggalkan meja dosen di sudut paling depan kelas.

"Zeitweise gab es weniger als 25.000 Sprecher der deutschen Sprache. Etwas Ähnliches geschah in der deutschen Sprache. Bitte übersetzen!"

Aku meminta seluruh mahasiswa kelas semester dua di kelas untuk membaca dan menerjemahkan sisa materi yang terdapat dalam modul Deutsche Sprachgeschichte atau Sejarah Bahasa Jerman.

Until The End (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now