All I Can Hear Is Raindrops.

33 3 1
                                    

"Perasaanku nggak enak, kayaknya kamu bakal ngasih bad news."

Maya melontarkan dugaannya. Dia menolak duduk dan memilih tetap berdiri, melipat lengannya di dada. Pandangannya menerawang jauh melintasi pagar, menengadah ke atas langit. Awan hitam bergulung-gulung, siap memuntahkan hujan kapan saja. Sesekali kilat menyambar, mengirimkan gemuruh guntur sesudahnya.

"May, selamanya kita akan jadi partner buat anak-anak. Tapi diluar itu, kita adalah orang asing " kata Rio tanpa berbelit-belit.

Orang asing...

Maya menyeringai sinis. Perkataan Rio barusan sangat nyelekit. Setelah suka duka yang pernah mereka lalui bersama, dia akhirnya dianggap bukan siapa-siapa. Matanya mulai berkaca-kaca.

"Omonganku sama istrimu kemarin nggak ngefek, ya? Padahal, udah aku bikin skak mat. Tabah juga dia. Kirain bakal mewek sampai pagi. Jangan-jangan, kemarin kalian malah bulan madu beneran gara-gara leluasa nggak ada anak-anak," tudingnya.

"Itu bukan urusan kamu," tegur Rio.

"Terus, tanggung jawab kamu sama aku sebatas apa?" Maya membalikkan badan, menatap lelaki yang sedang duduk di belakangnya. "Kalau kamu bilang maaf, itu nggak cukup. Kalau kamu tawarin uang, aku nggak bakal terima."

Rio balik bertanya. Menatapnya lurus-lurus. "Jadi, apa mau kamu? Asal jangan balikan, aku akan berusaha semampuku."

"Kencan?" tanya Maya, sambil lalu.

"May, kamu tahu itu melanggar syariat. Kita bukan mahrom lagi." Rio mengingatkan.

"I know. Just kidding..." kata Maya, tertawa hambar, memutar badannya kembali ke depan. "Jadi, inti pembicaraan ini apa? Kamu nggak mau ketemu aku lagi? Itu mustahil. Aku juga punya hak atas anak-anak."

"Bukan itu," sanggah Rio. "Aku cuma minta tolong jangan libatkan Ayla. Kamu kamu ngerasa nggak puas, marah, atau apa, lampiasin ke aku. Jangan ke dia."

"Aku baru tahu, ternyata kamu bisa sweet juga," celetuk Maya, menahan gumpalan sesak di tenggorokan.

Rio menarik napas yang terasa berat. Selalu begini. Tiap kali berkomunikasi, dia dan Maya tidak pernah beranjak kemana-mana. Hanya berdebat dan berkutat mencari pembenaran. Bukan kebenaran.

"Aku rela lulus kuliah lebih lambat demi kamu. Aku sengaja ngambil cuti semester di awal si kembar lahir, itu juga demi kamu. Aku bantu nimang si baby twins, buatin susu di tengah malam, bantu ganti popok. Ngurusin kerjaan rumah tangga. Supaya kamu bisa fokus beresin skripsi," kata Rio, menumpukan dia sikunya ke lutut dan memegangi kepalanya yang terasa berat. "Kalau di mata kamu itu nggak sweet, ya aku nggak tahu lagi. "

Maya termangu. Takjub mendengar perkataan Rio. Matanya tak berkedip, apalagi setelah benaknya mengulang ingatan demi ingatan yang telah lalu.

Benar...!

Semua yang dikatakan Rio memang benar! Bahkan, sikap manisnya takkan habis dibahas ratusan purnama.

Suatu hari, Rio pernah datang membawakannya sebungkus nasi padang. Beralasan sudah makan duluan, Rio memilih mengasuh baby twins. Anehnya, saat tengah malam, Maya mendengar perut Rio keroncongan keras sekali.

Dadanya mendadak terasa sesak. Lalu, gumpalan emosi yang tertahan di tenggorokan, mengalir keluar.

Maya baru menyadari kebodohannya.

Sepanjang mereka menikah, Rio telah berusaha memperlakukannya bagai seorang ratu. Sebagai mahasiswa yang waktu itu belum mapan secara finansial, perjuangan Rio terbilang luar biasa.

Until The End (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now