Wedding Night

46 1 2
                                    

"Pak, Bu, ijinkan saya mewakili putera saya menyampaikan pinangan pada puteri ibu. Kiranya ananda setuju dan seluruh keluarga menerimanya, kami akan merasa sangat bahagia."

Ayah Rio sudah memasuki inti persoalan. Seisi ruangan berangsur hening. Pak RT yang didaulat menjadi juru bicara, menoleh ke arah papa, menunggu jawaban. Namun, papa tampak kehilangan kata-kata. Beberapa detik berlalu. Semua orang menanti dalam debaran, termasuk Ayla.

"Bagaimana kalau...khitbah malam ini diganti akad?"

Apa?! Ayla tertegun mendengar kalimat papa. Bibirnya sempat membuka ingin mengatakan sesuatu, tapi urung. Otaknya nge-blank.

Desau keterkejutan menguar di semua hadirin.

"Pah," tegur mama resah, mencolek punggung papa. "Kenapa harus buru-buru?" bisiknya.

Tetapi papa malah menepuk-nepuk pelan tangan mama lalu menoleh pada Ayla. "Menurut kamu gimana, Ay? Apa kamu siap? Jangan terlalu lama ditunda, supaya Papa merasa tenang. Papa sudah tua dan sakit-sakitan. Mau kamu pulang malam atau ada masalah apapun, biar ada yang mewakili papa menjaga kamu..."

Suara papa bergetar, makin lama semakin berubah layaknya bisikan.

Ayla masih belum mengerti apa maksud papa. Nada suara beliau yang sarat kesedihan ini belum pernah dia dengar seumur hidupnya. Tak tahu kenapa, dia jadi ingin menangis.

Sebuah anggukan singkat menjadi jawaban. Mau menikah hari ini atau beberapa bulan lagi, semuanya hanya perkara waktu. Semenjak Ayla dan Rio bertemu kembali, dia sudah memantapkan hati. Tetapi perubahan rencana yang tidak terduga ini menyebabkan lidahnya kelu.

Sekuat tenaga, Ayla menahan air mata supaya tak merembes keluar. Di sebelah, Diandra meremas erat jemarinya, memberikan dukungan.

"Bagaimana Rio?" tanya papa tanpa basa-basi.

Kening Rio terlipat, pandangannya tertuju ke satu titik di lantai. Pertanda sedang berpikir keras. Perhatian seluruh keluarganya terpusat padanya. Menunggu keputusan.

"Insya Allah, saya siap, Pak."

Pernyataan Rio mengundang keriuhan para saksi. Ayla tak menyangka fokus Rio selanjutnya akan tertuju padanya.

"Ay, apa kamu punya keinganan mahar tertentu? Malam ini, aku baru bawa cincin dan seperangkat perhiasan sebesar tiga puluh gram." ujarnya, sembari meraih sebuah kotak persegi dari salah satu kotak hantaran yang disimpan di atas karpet.

Tangan Rio lalu membuka kotak dan menunjukkan pada Ayla dari kejauhan. Ayla mengerling isinya sepintas. Ada seuntai kalung, cincin dan gelang platina mungil tapi cantik di sana.

"Itu semua cukup," sahut Ayla, pelan.

Dengung ucapan hamdalah santer terdengar dari kerumunan.

"Mendekatlah, Rio," pinta papa, tegas.

Rio menyerahkan Silva pada neneknya yang tetap kelihatan ayu di usia pertengahan empat puluhan. Lalu, dia beringsut mendekati papa.

Paman Ayla berinisiatif menggeser sebuah meja ke tengah-tengah ruangan, sehingga Rio dan Papa duduk bersila berhadapan. Kotak perhiasannya tetap dibiarkan terbuka dan diletakkan di atas meja.

"Siapa yang bersedia menjadi saksi?" Papa menoleh pada saudara-saudaranya, lalu memutuskan Om Beni --adik kandung papa, serta pak RT lah yang akan menjadi saksi. Sedangkan Rio meminta ayahnya sendiri untuk mendampingi di sebelahnya

"Semua saksi sudah siap?" Pak RT menoleh ke kanan dan kirinya." Insya Allah catatan sipil akan menyusul secepatnya. "

Pak RT yang juga dikenal sebagai ustadz di daerah perumahan Ayla, kemudian meminta sehelai kertas dan berdiskusi dengan dua keluarga, menanyakan nama lengkap calon pengantin, lalu menuliskannya secara lengkap. Rio dan papa diberi kesempatan beberapa lama untuk menelaah isinya.

Until The End (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now