Sparkle In Your Eyes

42 2 1
                                    

Alarm ponsel kumatikan.

Aku tak percaya. Benar-benar tak percaya.

Mengedip-ngedipkan mata di tengah keremangan, aku sama sekali tak berani bergerak. Takut mengganggu tidur lelaki yang saat ini sedang mendekapku dari belakang. Pandanganku tertuju ke lantai. Celana dan baju yang beberapa jam lalu kami pakai, kini berserakan.

Ternyata itu bukan mimpi.

Ya Rabbi, akhirnya kami bermalam pertama...

Sengatan panas menyebar di seluruh wajah. Terutama saat kilasan adegan romantis sambar-menyambar menyapa ingatanku. Untung kebiasaan tidurku bagus. Jarang bergerak terlalu banyak. Duh, tak terbayang malunya kalau selimut yang dipakai ini sampai melorot.

Kalau tidak ingat sebentar lagi adzan subuh, aku pasti akan dengan senang hati menemani Rio tidur seharian. Amat pelan, kuangkat tangannya sambil menggeser tubuhku ke samping. Kemudian kutaruh sebuah guling di pelukannya supaya dia tak merasa kehilangan.

Kasihan Rio... Biarlah dia tidur sebentar lagi.

Aku memerhatikan wajah tidurnya yang mengguratkan keletihan. Kunaikkan selimutnya lebih rapat supaya tidak kedinginan. Lalu, kuraup piyamaku dari lantai dan segera mengenakannya. Rambut panjang ikalku dicepol asal-asalan ke atas. Tak lupa, kutaruh handuk atas pundak. Tujuanku selanjutnya adalah kamar mandi.

Setelah celingukan memastikan tidak ada siapa-siapa di kamar mandi yang memang terletak bersebelahan dengan dapur, aku pun masuk. Tapi baru satu menit berada di dalam, aku sudah keluar lagi.

Pemanas airnya mati.

Rumah Rio masih memakai water heater elpiji. Mungkin karena gasnya habis? Tak tahulah. Aku baru menjerang air menggunakan dua panci besar, ketika suara Bi Yani muncul dari belakang.

"Loh, Bu, lagi masak air? Buat apa?" tanya Bi Yani, kebingungan. Raut mukanya berubah setelah memerhatikan handuk yang bertengger di pundak dan wajahku yang memerah. Sepertinya beliau baru ngeh.

"Oalah...Ibu lagi nyiapin air hangat buat mandi? Sekalian buat si Bapak juga?" Bi Yani tersenyum-senyum penuh pengertian seraya susah payah membungkuk. Tubuhnya yang renta mencoba mengeluarkan tabung gas dari bawah kompor. "Maaf, Bu. Bibi lupa ganti gasnya."

"Aku bantu, Bi," sahutku iba, ikut membungkuk dan menarik tabung gas, tapi sepasang tangan yang lain keburu menangkup tanganku.

"Aku aja." Suara serak khas lelaki yang baru bangun tidur, terdengar.

Tanpa menoleh, aku bergeser sedikit. Membiarkan Rio menarik keluar gas. Entah sengaja atau tidak. Dia sempet meremas tanganku, sebelum menarik tabung seberat dua belas kilo itu ke sudut dekat kamar mandi, lalu memasangkan selang di atasnya.

"Dasar, genit..." gumamku sangat lirih supaya tak ada yang dengar. Kupalingkan wajah supaya Rio tidak melihat.

Ternyata, Rio malah tertawa-tawa. Membuatku terperangah. Tak menyangka dia bisa mendengar ocehanku barusan. "Apa, Ay? Coba ulangi?" pintanya sembari mendekat. Tangannya beraksi. Mencolek-colek pinggangku.

Aku tak punya pilihan selain mendongak. "Rio... Diem, ah." Kutepis lembut tangan nakalnya.

Lelaki itu mengguratkan senyuman favoritku. Rambutnya acak-acakan, sementara tubuhnya memakai celana pendek dan kaus oblong. Di pundak kirinya tersampir kemeja dan celana kerja bekas kemarin.

Melihat setelan kantor itu, mataku mengerjap dan pipiku terasa terbakar hebat. Aku cepat-cepat berpaling. Teringat kelakuan tak tahu maluku kemarin yang membantu Rio melucuti kemejanya. Batinku riuh beristighfar. Gawat. Sepertinya aku butuh cuci muka memakai air Zamzam, biar cepat sadar.

Until The End (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang