Torn Between

63 6 1
                                    

"Papa jahat! Aku mau ketemu Mama! Huwaaaa!"

Kepala Rio berdenyut-denyut. Jam menunjukkan pukul setengah enam. Dia sedang sibuk memasak nasi goreng untuk sarapan. Siapa sangka rengekan si bungsu Silva, akan menjadi backsound aktivitasnya pagi itu. Tanda masih mengantuk. Biasanya, Rio akan menina-bobo kan lagi di kamar, lalu si balita kecil akan kembali terlelap. Tapi, hari ini Rio bangun terlambat.

Dikerlingnya sepintas gadis kecilnya di lantai yang sedang meraung-raung. Masih kondusif. Asalkan tidak melakukan hal-hal berbahaya, Rio memutuskan membiarkan saja sampai tangisannya reda sendiri. Lagipula, segudang aktivitas masih menanti.

Nahya keluar dari kamar. Gadis kelas empat SD itu sudah kelihatan rapi dan cantik. Berarti, tinggal menunggu kembarannya yang satu lagi.

"Kak Navya! Mandinya cepetaaan. Sarapan dulu, nanti terlambat!" teriak Rio, sambil melongok ke arah kamar mandi. Tangan kanannya membawa-bawa wajan berisi nasi, bermaksud ditumpahkan ke atas piring.

"Kak Nahya, sarapannya jangan disisain. Harus habis... " Rio mengelus kepala Nahya sekilas, lalu menempatkan wajan kosong ke dalam sink, diantara gunungan piring dan gelas kotor.

"Kaaaak! Kalau dengar, tolong jawab Papa!" ulang Rio. Dengan gesit menata sarapan di atas meja. Setelahnya, dia buka lemari lalu mengambil kotak susu.

"Navya! Nggak ada hape sebulan kalau kamu nggak mau jawab! Mandinya sudah selesai, belum?" seru Rio tegas. Barulah sekarang terdengar jawaban ketus dari si sulung.

"Sudah! Lagi ganti baju!"

"Astagfirullah..." Rio terduduk di atas kursi meja bar. Menopang kepalanya, frustrasi.

Sebenarnya siapa yang salah di sini. Istrinya yang hengkang dari rumah lantaran lebih memprioritaskan karir, atau dirinya yang memang tidak becus menjadi kepala keluarga yang baik. Mungkin keduanya.

Apapun itu, kesabarannya sudah mencapai limit. Tak boleh terus begini. Kalau dia tak melakukan sesuatu, bisa-bisa kewarasannya lenyap.

Putri bungsu masih betah menangis. Rio meraih ponsel dari saku celananya. Iseng, dia scroll media sosial, Facebook, instagram. Sesuatu yang sudah lama tak dia lakukan. Dia sedang butuh pengalihan suasana, apa saja. Saat itulah, matanya tak sengaja menemukan gambar flyer reunian di grup instagram angkatan SMA nya.

"Jadi sore ini ada reuni..." gumam Rio pada dirinya sendiri. "Contact personnya pakai nomor si Hasan ternyata...soulmate gue. Cobain daftar, jangan..." Benaknya menimbang-nimbang.

Apa sebaiknya dia datang? Supaya tak terlalu sumpek. Siapa tahu perasaannya akan membaik kalau bertemu teman-teman lama. Maklum, selama ini kesehariannya hanya berkutat di rumah, kantor, rumah, kantor. Beberapa bulan terakhir, malah ditambah dengan kunjungan bolak-balik ke pengadilan agama untuk mengurus perceraian. Mana situasi di perusahaan start up tempatnya bekerja sedang runyam. Parah!

Rio nyaris tak punya waktu untuk memikirkan dirinya sendiri.

Pintu kamar mandi terbuka. Menampilkan gadis berkulit putih imut berseragam merah-putih. Rio menoleh. Melihat rambut panjang kesayangannya masih kusut masai, hatinya luluh. Menghela napas panjang, Rio beranjak ke kamar untuk mengambilkan sisir.

"Kakak, sini..." Panggil Rio lembut.

Walau memasang mimik cemberut, Navya menurut. Dia menghadap Rio yang kini berlutut, menyejajarkan diri.

"Maaf tadi Papa bentak. Papa lagi cape habis lembur kemaren. Kakak marah?" tanya Rio, tangannya menyisir rambut sang putri hati-hati.

Navya menggeleng. Bibir terkatup rapat, tapi sudah tak kelihatan manyun seperti tadi. Isyarat perdamaian.

Until The End (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now