Fighting For You

51 4 1
                                    

Hariku berjalan hectic.

Bandung lautan air sepertinya lebih cocok dibanding julukan aslinya. Langit benar-benar memuntahkan bergalon-galon H20. Belum lama aku keluar kampus, banjir bandang menyapa. Sistem drainase yang buruk konon menjadi penyebab. Alhasil, macet dimana-mana. Banyak kendaraan, terutama mesin roda dua yang mati.

Kucurahkan seluruh konsentrasi dan keahlian mengemudi yang kupunya. Lisan ini tak henti-hentinya berdzikir, memohon pertolongan di sela-sela cahaya petir yang menyambar-nyambar.

Aku yakin ini bukan sekedar hujan lebat, tapi badai! Naas, mobilku ikutan mogok dadakan. Untung posisinya tidak terlalu di tengah jalan.

"Aduh, gimana ini..." Aku meraih payung yang kusimpan di bagasi, memberanikan diri membuka kap mobil, meski tak mengerti apa yang salah.

Petir menyambar lagi.

Aku memekik kaget, buru-buru membanting tutup kap. Ketakutan membuatku merangkak naik kembali ke mobil. Pada saat seperti ini, aku hanya terpikirkan satu orang yang bisa diandalkan. Namun sudah mencoba berulangkali, Diandra tetap tak bisa dihubungi.

"Please, Di, angkat telponnya. Kamu lagi ngapain?"gumamku, ingin menangis. Ku chat Diandra, menjelaskan keadaanku. Berharap dia akan segera membacanya.

Keningku bertumpu pada setir, berpikir keras.

"Apa aku harus minta tolong ke grup kelas?"

Seingatku, masih ada satu-dua mahasiswa bimbinganku yang belum pulang. Tidak ada jalan lain. Kuhubungi KM kelas binaanku, memintanya menanyakan ke grup, kalau-kalau ada yang bisa membantu.

Sebuah jawaban masuk.

"Baik, Bu. Kebetulan saya belum pulang. Ibu di mana sekarang?"

"Alhamdulillah..." Kuembuskan napas lega.

Tak sampai setengah jam, beberapa kali ketukan mampir di jendela.

Seorang lelaki berjas hujan, mendekatkan wajahnya ke jendelaku. Ardito, mahasiswa paling aktif di kelasku. Sumringah, aku segera keluar mobil sambil mengenakan payung.

"Bu, saya cek sebentar mesinnya!" serunya, setengah teriak. Aku mempersilakan, "Maaf, ngerepotin!" seraya beranjak memayunginya.

Ardito pun mulai mengerjakan tugasnya, membungkuk mengecek kabel-kabel di kap mobil. "Wah, kayaknya bukan ranah saya ini mah, Bu. Perlu bantuan bengkel," ucapnya, meminta maaf.

Kegelisahan yang sempat mereda, merayap naik lagi.

"Kalau ibu mau, saya akan panggilkan mobil derek. Saya hubungi sekarang dan bawa ke bengkel juga," tawarnya.

Boleh juga idenya, kenapa tak kepikiran!

Setulus hati aku berterimakasih. Kalau saja Ardito tidak mengucapkan kalimat berbahaya.

"Saya kuatir lihat Ibu jalan sendirian kemana-mana. Takutnya ada kejadian kayak gini. Apa mau besok-besok saya temani? Saya sangat siap jadi tukang antar jemput Bu Ay yang cantik tiap hari. Mumpung belum ada yang marah."

Apa maksudnya?

Aku tercenung. Tatapan Ardito berubah. Pancaran matanya bukan lagi pandangan menghargai antara siswa pada gurunya, melainkan lelaki pada wanitanya. Bulu kudukku meremang. Wajahku berubah merah padam. Bukan karena malu, tapi marah!

Aku tahu seharusnya kuabaikan saja dia. Ardito masih muda. Kuingatkan diriku berkali-kali, mencari-cari alasan supaya rasionalitasku terjaga. Bisa jadi karena terlalu nyaman interaksi denganku, dia jadi lupa cara memperlakukan gurunya. Don't be too sensitive, but...

Until The End (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now