Goin Smoothly

41 4 3
                                    

"Papa mau bicara berdua dengan Rio. Kalian cepat keluar!"

Tegas dan penuh otoritas. Lelaki yang masih terbilang gagah di usia senjanya itu, melayangkan tatapan penuh makna pada istrinya. Tanpa perlu disuruh dua kali, mama lebih dulu bangkit dan mencolek punggung Ayla, memberi kode supaya mengikutinya keluar rumah.

Ayla terpaksa menurut tanpa suara. Kelopak mata besar miliknya memancarkan keresahan saat beradu tatap dengan Rio yang memberinya senyuman menenangkan.

Malam terus merambat.

Rio tidak yakin harus merespon seperti apa. Kalaulah sosok di hadapannya ini  puterinya, pasti akan segera dia gendong dan dialihkan perhatiannya supaya terhibur.

Setelah yakin istri dan puterinya keluar, Papa Ayla mulai menangis terisak-isak hingga bahunya berguncang-guncang. Menunjukkan ketidakberdayaan, tak sebanding dengan perawakannya yang tinggi besar. Kecuali dirinya sendiri dan Tuhan, tidak ada yang tahu seberapa besar penyesalan yang dipendamnya. Kecewa pada ego dan kebodohan diri yang mengakibatkan hubungannya dengan puteri semata wayangnya retak.

Kebingungan, akhirnya Rio membiarkan saja beliau menumpahkan segala kesedihannya hingga tuntas.

"Waktu SMP, Ayla pernah divonis mutisme selektif atau bisu selektif. Itu adalah penyakit depresi yang membuatnya kehilangan kemampuan berbicara karena akumulasi tekanan mental. Salah saya karena terlalu keras menuntutnya supaya sempurna. Lebih-lebih persaingan prestasi di Jakarta lumayan sengit. Setiap kali ke-trigger, Ayla bisa mogok bicara sampai berhari-hari. Malah pernah sampai hampir dua minggu."

Rio terkesiap mendengar penjelasan panjang lebar dari papa Ayla. Ekspresi keterkejutan tersirat di wajahnya. Ulu hatinya diremas-remas oleh kesedihan.

Pantas...

Di banyak kesempatan, Ayla seringkali terkesan misterius dan terpusat di dunianya sendiri. Rupanya sifat pendiamnya itu didorong oleh suatu alasan.

"Untunglah kondisinya membaik setelah pindah ke sini, ke kawasan pedesaan. Sedikit-demi sedikit, dia mulai membuka diri. Nggak terlalu introvert seperti dulu. Traumanya juga belum pernah kambuh lagi. Semoga nggak akan pernah lagi," bisik papa seraya menghapus air mata yang semakin mengalir deras di pipinya. 

Bayangan Ayla kecil menari-nari. Tawa riang Ayla sewaktu menyambut papanya pulang, dan dengan manjanya minta digendong. Semuanya berubah semenjak Ayla masuk sekolah menengah. Ia yang mulanya mencoba mengikis sifat manja Ayla, malah kebablasan. Bersikap terlampau keras padanya. 

"Terus terang, saya nggak sreg dengan latar belakangmu. Saya takut anak saya kesulitan beradaptasi. Nggak cukup dengan suaminya tapi juga harus berhadapan dengan anak-anak sambung dan mertuanya." Suara papa menyiratkan kepedihan bercampur kepasrahan. Disekanya cepat-cepat sisa air mata menggunakan punggung tangan.

"Belum lagi kalau mantan istri atau mantan mertuamu datang beralasan ingin nengok anak dan cucu. Kasihan Ayla."

Rio kehilangan kata-kata. Perkataan beliau amat telak menembus sanubarinya. Semuanya benar. Membuatnya tak bisa menyangkal. Sejatinya, dia juga memiliki kekuatiran serupa.

Rio sedang bergelut dengan pemikirannya sendiri kala papa Ayla kembali bersuara.

"Tapi...melihat gelagat Ayla, kelihatan jelas bagaimana dia sangat menghargai kamu. Untuk pertama kalinya, dia berani menyuarakan keinginanya. Saya nggak bisa mengabaikan itu..."

Tepatnya, tidak pernah bisa.  Air mata beliau mulai menetes lagi. Satu, dua, hingga tak terhingga.

"Jaga Ayla baik-baik. Jangan pernah kamu sakiti dia perkara sekecil apapun. Jangan biarkan dia merasakan kesepian. "

Papa Ayla memegangi bahu Rio, seolah mematri ikatan sakral  yang tak kasat mata. Kali ini, beliau tidak menangis sendirian.

"Insya Allah, saya janji, Pak, " rintih Rio, lirih. Sangat lirih. Air matanya jatuh membasahi punggung tangannya yang berada di pangkuan. Ada geletar asing merambat di sekujur tubuhnya. Perasaan haru yang melonjak ke permukaan, beriringan dengan bertambahnya bobot muatan di kedua pundaknya.

Sebuah tanggung jawab baru untuk membahagiakan Ayla.

Pernikahan, ibarat seorang pendaki yang mengagumi  kecantikan gunung.

Ketika masih berada di kakinya, yang terbayang adalah segala keindahan panorama di puncak. Begitu indah bak lukisan.  Membuat kita tak sabar ingin segera melakukan pendakian. Namun, jangan coba-coba menaikinya tanpa persiapan. Dibalik keindahannya, banyak jurang menganga serta tebing curam penuh onak duri yang menanti.

Rio pernah tergelincir satu kali.

Maka malam itu, dia bertekad memperbaharui azzamnya. Apapun yang terjadi, dia harus belajar menjadi nahkoda tangguh yang tidak panik saat gelombang meninggi, bahkan mampu mengantarkan kapal beserta awaknya selamat kembali ke dermaga.

Rio baru pulang setelah jarum jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Entah pembicaraan apa yang membuat mata dua lelaki di ruang keluarga itu sama-sama sembab, Ayla masih tak bisa mempercayai apa yang terjadi.

Apakah Allah telah menjawab doa-doanya?

Setelah dia dan mama kembali memasuki rumah, Rio tiba-tiba saja mengatakan padanya, "Ay, aku akan segera melakukan lamaran resmi dalam waktu dekat, bersama keluargaku."

Air mata Ayla tumpah bak banjir tak terbendung. Dia menutupi wajahnya menggunakan kain jilbab. Sesungguhnya, hanya pada Rio dia merasakan jatuh cinta. Lama sekali, dia berharap akan bisa bahagia karena perasaan itu. Tak hanya sekedar angan-angan. Dia lalu merasakan usapan lembut di kepalanya.

Bukan tangan Rio tapi mama.

Pelbagai rasa menyelimuti hati beliau. Senang, kuatir juga haru. Namun, beliau tak mengatakan apa-apa selain memanjatkan syukur sekaligus doa terbaik bagi Ayla. Beliau menghormati keputusan papa, meski ada perasaan resah yang tertinggal.

"Aku pulang dulu, Ayla. Mangga, Bu, Pak, " kata Rio ditutup kemudian dengan salam. Suaranya terdengar sedikit bergetar.

Hanya mama yang mengantar Rio keluar, karena papa langsung memanggil Ayla.

"Ayla, tolong kemari sebentar. "

Ayla menyusut air mata sembari mendekati papa, mengambil posisi duduk di samping beliau. Di luar rumah, terdengar gerung teredam mobil yang menjauh.  Rio sudah pergi.

"Ay, " kata papa pelan, "Papa cuma mau bertanya satu kali. Apa kamu sudah yakin ingin memilih Rio?"

Ayla menghela napas diam-diam. Pertanyaan semacam itu sering dia dapatkan belakangan ini. Diandra tak pernah bosan melontarkannya setiap kali mereka berkomunikasi via telepon. Supaya tak ada penyesalan, katanya.

Karena kita wajib membuka mata dan telinga kita sebelum menikah. Meneliti calon pendamping kita baik-baik. Tetapi tutuplah rapat-rapat mata dan telinga kita setelah menikah. Terimalah apa adanya pasangan kita.

"Insya Allah, yakin, Pah," jawab Ayla lugas.

"Baiklah kalau begitu, " pungkas papa.

Beliau bangun dari duduknya, kemudian perlahan berjalan menuju kamar, melipat dua tangannya di belakang. Meninggalkan Ayla yang terdiam mengawang-ngawang di tempatnya.

***


Until The End (Sudah Terbit)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن