No Turning Back

43 3 5
                                    

Rio menautkan alis membaca banyak panggilan tak terjawab dari Maya.

"Apa ada urusan penting?" gumamnya, men-scroll ponsel mengecek inbox whattsap. Barangkali mantan istrinya itu mengiriminya pesan.

Tapi, ternyata tak ada.

"Kantor ngehubungi?" tanya Ayla, tahu-tahu sudah ada di belakang Rio, membuatnya agak terperanjat.

"Kaget aku!" kata Rio mengusap dada. Ia lalu memutar badannya. Matanya memandang lekat Ayla, kuatir gadis itu mungkin akan marah atau cemburu. "Ini...hmm...ibunya anak-anak miscall, Ay," jelasnya, agak ragu. 

"Oh..."Ayla melongo. Seberkas rasa pahit muncul tanpa bisa dicegah. Cepat-cepat diusirnya pikiran semacam itu sebelum menguasai hatinya. Bagaimanapun, ia harus membiasakan diri, belajar menerima masa lalu Rio.

"Kita berangkat ke rumahmu sekarang?" tanya Ayla, mengalihkan perhatian. Ia berjalan menuju lemari dan mengeluarkan sebuah koper besar. "Aku packing sekalian, ya, biar nggak bolak-balik."

"Iya." Rio mengangguk pelan, mengamati kesibukan Ayla yang sedang berjongkok, mengambil setumpuk baju kemudian memasukannya ke dalam koper.  "Mau kubantu?" tawarnya.

Ayla menoleh, bibirnya sudah tersenyum lagi. "Nggak usah. Aku cuma bawa seperlunya aja kok, buat ke kampus."

"Oke, aku mau mandiin Silva," kata Rio balas tersenyum, diangguki Ayla, "Ah, ada yang kelupaan..." Langkahnya tertahan di dekat pintu kamar.

Aktivitas Ayla ikut berhenti. Ia mendongak, menatap Rio penuh tanya.

"Mulai hari ini dan seterusnya, aku bakal manggil kamu 'Ay'. Bukan karena singkatan nama kamu, tapi..." Rio tampak sengaja menahan kata-katanya, pura-pura berpikir keras. Ayla sampai gemas. "Karena kamu udah resmi jadi 'Ayang 'aku." 

Rio tersenyum manis sekali.

Terpana, Ayla seketika mengawang-ngawang tinggi. Kalau ia sejenis makhluk dua dimensi, pasti hidungnya akan dilukis kembang-kempis. Syukurlah detik selanjutnya, ia sudah kembali menjejak bumi.  "Apaan, sih...Geli, tahu!" sungutnya.

Rio tertawa-tawa. Melihat Ayla berpura-pura marah sambil berusaha menyembunyikan wajah memerah karena malu, itu sangat menggemaskan.

"Kamu juga jangan nyebut aku 'Rio' terus, dong. Kalo kita lagi berdua, panggil Aa kek, Mas, Uda, Abang, asal jangan 'Bro' aja kayak si Hasan, " timpalnya. Sudut bibirnya mencuat ke atas karena Ayla langsung tergelak.

"Kasih aku waktu... Yang jelas, aku akan manggil kamu 'Papa' di depan anak-anak, " kata Ayla, memegangi perutnya, susah payah menghentikan tawa. Tak kuat membayangkan harus menyebut 'Bro' pada suaminya, apa jadinya rumah tangga mereka nanti.

"Boleh. Kalo gitu, kamu mau dipanggil apa? Bunda? Umi? Mami?" tanya Rio, sekonyong-konyong.

Ayla mengerutkan dahi. Tawanya otomatis terhenti. Benar juga, pikirnya. Sebagai ibu sambung, aneh rasanya kalau anak-anak terus memanggilnya 'Tante'. Dalam hati, ia bertanya-tanya, kira-kira apa sebutan anak-anak ke ibu kandungnya. Jangan-jangan nanti malah samaan. Duh, jangan sampai, deh! Ayla tak mau disangka mau menggeser posisi ibu mereka.

"Bunda aja, gimana? Papa dan Bunda, kedengarannya cocok," jawabnya, lambat-lambat. Kalau Maya juga dipanggil Bunda, Rio pasti akan memberitahunya. Ya, kan?

"Baiklah," pungkas Rio, mengayunkan kaki ke luar. Kepalanya sengaja nongol di ambang pintu, sebelum akhirnya berlalu. "Aku pergi dulu ya, Bunda..." Kalimat terakhirnya diucapkan dengan nada menggoda.

Mendengarnya, Ayla tersenyum lega dan tersipu. Senang, panggilan 'Bunda' belum ada yang mengisi.

Tak butuh waktu lama, koper, ransel serta tas jinjing berisi buku diktat Ayla telah siap dibawa. Ia menumpuknya rapi di lantai. Persiapannya selesai. Selama beberapa lama, pandangannya mengedar ke sekeliling, menyelami saksi perjalanan hidupnya.

Until The End (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now