Jimat

3.3K 204 10
                                    

Ciatttt!

Aku melompat seraya melayangkan pukulan pada Syahril — pemimpin gank motor SMA 11. HAP! Ia menangkap tanganku lalu memelintirnya. "AWW!" teriakku.

"Mau ngapain lu? HAH!" Syahril melebarkan kedua bola matanya, lalu menempelengku dengan kencang.

Aku terhuyung, lalu mendarat di aspal jalan. "Kok gak mempan," gumamku sembari mengusap pipi yang terasa perih.

Ia tertawa, "Jimat lu udah kadaluarsa! Sono minta lagi sama nyokap lu yang dukun itu."

"Jangan bawa-bawa nyokap gua!" Emosiku tersulut, lalu bangkit dan memasang kuda-kuda.

"Masih berani, lu?" Ia bertolak pinggang. "Sini maju!"

Ciaatttt!

Aku mengarahkan tendangan ke badan Syahril. Ia berhasil menahannya, lalu meraih rambutku dan membenturkan wajah ini ke pahanya.

"Aduh!" pekikku.

"Baru gitu doang udah berdarah."

Hidung ini terasa pedih. Kuusapkan punggung tangan ke bawah hidung. Ada cairan kental berwarna merah. Darah.

"Anak mamih berdarah, hahahaha." Syahril meledek.

Aku kembali memasang kuda-kuda.

Polisi!
Polisi!

"Dan! Ada polisi!" teriak Bimo.

Aku menoleh, terlihat mobil polisi sedang meluncur ke arah kami. "Bubar!" teriakku memberi komando. Semua siswa yang ikut tawuran berlari berhamburan.

"Lewat sini, Dan!" panggil Handeka. Sontak aku mengikutinya masuk ke dalam gang sempit di pinggir jalan. Kami berlari sejauh mungkin, sampai situasi benar-benar aman.

"Dah-dah santai! Gak ada yang ngejer," ucapku.

"Hampir aja kena gruduk polisi," ucap Bimo.

"Ini kita mau langsung ke markas?" tanya Reno.

"Cari makan dulu gak sih, laper nih," sahut Handeka.

"Yaudin cari makan dulu." Aku setuju dengan usul Handeka, setelah bertarung dan berlari sejauh ini, perut langsung keroncongan.

"Mau makan di mana?" tanya Reno.

"Warung Mak Iroh aja seperti biasa," sahutku.

"Yaelah, kagak enak makanannya! Yang lain aja napa?"

"Di sana bisa ngutang kalau duitnya kurang, Ren."

"Oke deh. Gimana komandan aja."

Setelah berjalan kaki sepuluh menit, kami tiba di warung pecel lele Mak Iroh. "Mak kaya biasa, ya!" teriakku sembari duduk di bangku kayu panjang.

"Ngutang ato kagak nih?" sahutnya sembari mengulek sambal.

"Kagak, Mak! Kontan."

"Berapa orang?"

"Nih itung aje kepalanya ada berapa."

"Satu. Dua. Tiga ...." Mak Iroh mulai menghitung. Kami berpindah-pindah tempat, sehingga membuat Mak Iroh kebingungan dan menghitung ulang. "Satu. Dua ..."

"Empat!" sela Bimo.

"Lima," timpal Mak Iroh.

"Lah tiganya kelewat, Mak!" ucapku.

"Ya Allah, demen bener ngerjain orang tua!" Mak Iroh kesal.

"Tujuh, Mak. Pesen tujuh pecel lele, sambelnya banyak!" ucap Bimo.

IBUKU DUKUNWhere stories live. Discover now