Jin Kiriman

1K 141 4
                                    

HUA!

Aku, Bimo dan Handeka kompak terbangun dan berteriak. Sayup terdengar suara teriakan dari kamar depan. "Kok barengan?" tanya Bimo, heran.

"Jangan bilang lu mimpi dilindes motor juga?"  terkaku.

"Bener!" sahut Handeka dan Bimo bersamaan.

"Kalau mimpi barengan beneran nyata. Nyokap lu mau bunuh kita semua, Dan?" ucap Handeka.

Tok! Tok!

Terdengar suara ketukan. Bimo bangkit dan membuka pintu. Sudah bisa ditebak kalau yang datang adalah Agus, Fikri, dan Guntur. "Lu pada mimpi yang sama, kan?" tebak Bimo, sebelum Agus membuka mulutnya.

"IYAA!" Mereka menyaut dengan kompak.

"Gimana ini, Dan?" Handeka bertanya padaku.

"Gua gak tau," balasku.

"Nyawa kita dalam bahaya," ucap Agus.

"Itu beneran bentuk Genderuwo?" tanya Fikri.

"Astaga, Fik! Lu masih nanya itu aja," sahutku.

"Gimana kalau kita ikut usulan lu semalem aja, Dan?" ucap Bimo.

"Usulan apa?" Aku lupa semalam bilang apa.

"Lu bilang kita semua harus dirukiyah."

"Oh iya! Kayanya cuman itu solusi yang paling bagus untuk sekarang," balasku.

"Gimana yang lain? Setuju, gak?" tanya Bimo.

"Setuju," sahut Handeka, diikuti temanku yang lain.

"Oke, nanti kita bilang sama Ustad Walid," ucapku.

Handeka bangkit, "Yuk, saur dulu. Abis mimpi kelindes perut jadi kempes, butuh diisi."

"Emang sekarang jam berapa?" tanyaku.

"Itu handphonenya pake kali, Dan!" sahut Bimo, menunjuk ponselku yang tergeletak tak jauh dariku.

"Handphone-nya gua matiin, ngeri ditelepon nyokap," balasku.

"Oh." Bimo melihat ponselnya, "Jam setengah tiga."

"Sabar dulu deh. Jam tiga lewat baru berangkat."

"Siap, komandan." Handeka kembali duduk di kasurnya.

Alarm dari ponsel Bimo berbunyi. Bergegas kami pun pergi ke kantin. Sama seperti kemarin, suasananya masih sepi. Baru ada dua orang santri yang sudah makan duluan. Mungkin keduanya trauma mengantre panjang.

Setelah santap sahur, kami pergi menghadap Ustad Walid untuk membicarakan rencana tadi. "Nanti sehabis teraweh, kita berangkat ke tempat Kyai Ali aja," ucapnya.

"Baik, Pak Ustad." Aku setuju dengan usulanya, karena kalau dilakukan di sini, khawatir mengganggu santri lain. Kemudian, Ustad Walid mengajak kami ke masjid bersama-sama.

_______

Menu buka hari ini ada bubur sumsum dan gorengan pisang. Setelah berbuka, kami lanjut salat magrib. Kali ini pengurus pesantren mengizinkan kami untuk makan besar dulu di asrama. Mungkin kemarin ada yang protes perutnya kelaparan saat salat tarawih.

Setelah salat teraweh, kami menjalankan rencana tadi subuh. Pergi ke tempat Kyai Ali. Kami pergi dengan menyewa angkutan umum.

"Hamim gak ikut, Pak Ustad?" tanyaku.

"Dianya nolak, mungkin malu kali ikut sama kakak-kakaknya," balas Ustad Walid.

"Takut liat si Agus kayanya," timpal Handeka.

IBUKU DUKUNWhere stories live. Discover now