Pesan Ayah

1K 141 7
                                    

Keesokan paginya, aku tak melihat ibu di rumah. Motornya pun tak ada. Entah ke mana perginya. Perut yang lapar membuatku berjalan ke dapur untuk masak mie.

Saat sedang asik menyantap mie sambil menonton televisi, ibu datang sembari membawa kantong belanjaan. "Loh kamu udah bangun?" tanyanya.

"Iya, kan semalem gak boleh nongkrong jadi tidur cepet," sindirku, kesal dengan kejadian semalam.

"Ibu baru aja mau masak."

"Masak aja, Bu. Nanti aku makan." Satu bungkus mie instan itu hanya camilan bagiku.

Ibu pergi ke dapur, sementara aku lanjut makan sambil mengobrol di grup WhatsApp. Membicarakan barang yang akan dibawa ke pesantren.

Selesai makan, kutaruh piring ke tempat cucian. "Masak apa, Bu?" tanyaku sembari mengintip wajan.

"Capcay sama ayam goreng," balasnya sembari membersihkan ayam.

"Kalau udah siap bilang ya, Bu." Aku pergi ke kamar.

Sekitar setengah jam kemudian, ibu memanggilku dari ruang tengah. Aku bangkit dan menghampirinya. "Ibu belanja buat saur?" tanyaku.

"Gak," balasnya.

"Lah, terus buat apaan?"

"Pura-pura aja biar diliat orang."

"Yaelah, kayanya gak ada yang tau juga kalau ibu gak pernah puasa. Udah berapa taun gak puasa?"

"Dari ayah kamu meninggal aja, Ai."

"Lima taun berarti." Ya, sama denganku. Selama lima tahun terakhir ini, tidak pernah puasa.

"Kamu jadi pergi ke pesantren?"

"Gak tau." Aku mulai menyantap masakan ibu. Menghindari obrolan yang mengarah ke pesantren.

"Abisin makanannya," ucap Ibu.

"Pasti."

Ibu pergi ke dapur dan kembali dengan membawa minuman jeruk. "Ibu bawain minuman spesial," ucapnya sambil menaruh minuman itu di dekatku.

"Spesial apanya, cuman sirop jeruk doang," protesku saat mencicipinya. Namun, ada yang aneh setelah menghabiskan minuman itu. Mata ini tiba-tiba menjadi berat. "Kepala aku kok pusing, Bu," ucapku sambil memegang kepala.

"Kalau pusing ya tidur aja," balas Ibu.

"Ibu pasti udah ngelakuin sesuatu!" tuduhku.

"Demi kebaikan kamu, Ai."

Tubuh ini sudah semakin lemas. Mata pun sulit terbuka. Tak berselang lama, aku pun tertidur.

________

"Ai! Bangun." Aku membuka mata, terkejut saat melihat wajah ayah sudah ada di hadapan. "Nah gitu dong. Baru anak ayah," ucap Ayah.

Aku mengucek mata dan menggeleng-gelengkan kepala, "Ini mimpi, kan?" Tak percaya rasanya bisa berjumpa dengan ayah.

"Iya, Ai. Ayah sengaja dateng buat bangunin kamu." Ayah duduk di ujung kasur.

Aku menatap wajahnya, setelah lima tahun kepergiannya. Ini kali pertama aku memimpikannya. Mimpi yang benar-benar jelas dan terasa nyata.

"Coba kamu baca bismillah," perintah Ayah.

Kucoba membaca basmalah, tapi lidah ini terasa kelu. "Gak bisa, Yah." Aku bingung dengan situasi ini.

"Udah lima taun kamu gak pernah kirim doa buat ayah. Apa kamu udah bener-bener lupain ayah? Sama kaya lupa cara baca bismillah." Ucapan ayah ini langsung menghujam relung hatiku.

IBUKU DUKUNWhere stories live. Discover now