Ibu Datang ke Sekolah

1.2K 129 4
                                    

"Mau mulai dari mana?" tanya Handeka.

"Bebas," sahut Bimo.

Handeka mengeluarkan beberapa buku dari dalam tas. Buku Iqro dari nomor satu sampai enam. "Coba dites dulu udah pada sampe mana kemampuan bacanya. Jangan bilang huruf hijaiyah aja gak ngerti."

"Huruf hijaiyah itu apaan?" tanya Agus.

Handeka menepok jidat, "Serius lu gak tau huruf hijaiyah? Ituloh yang ABATA!"

"Oh! Kalau itu gua tau," sahut Agus.

"Mending mulai dari Iqro satu dulu deh!" Handeka menyerahkan buku Iqro satu padaku. "Coba baca lima lembar terakhir. Kalau lancar lanjut Iqro dua."

Aku bisa membaca dengan lancar sampai buku Iqro enam. "Bah! Aidan bisa baca sampe Iqro enam!" seru Guntur.

"Ya, kan dulu pas kecil gua pernah sekolah agama juga," sahutku. Meski jarang sekali membuka Al Quran, aku masih ingat cara membacanya.

"Idan emang bisa baca Al Quran kok, cuman dia sering kepanasan aja," ucap Bimo.

"Baru kemaren doang!" sahutku, kesal. "Lanjut-lanjut. Giliran lu, Bim!"

Setelah semuanya dites, hanya aku dan Guntur saja yang bisa langsung mulai membaca Al Quran. Sisanya masih tertahan di buku Iqro.

Handeka memintaku untuk mulai membaca Al Qur'an. Ayat demi ayat aku lantunkan. Ada kesenangan tersendiri saat aku bisa membacanya dengan lancar. Walaupun Handeka beberapa kali meluruskan bacaanku.

Pandangan ini mendadak kabur. Kucoba menggeleng-gelengkan kepala agar lebih fokus. Nihil. "Kenapa, Dan?" tanya Handeka.

"Gak tau tiba-tiba tulisannya jadi burem," balasku, sembari mengucek mata. Kulanjutkan membaca, kepala ini malah terasa berat. Leher pun tegang.

"Jangan dipaksa, Dan. Muka lu udah merah begitu." Handeka menatap wajahku.

"Apa efek jimat yang kemaren masih ada, ya?" ucap Bimo, sembari memijat punggungku.

"Kayanya ini bukan gara-gara jimat kemaren." Aku curiga kalau ini ada hubungannya dengan ibu. Karena sebelum berangkat ia sempat mengelus rambutku dan secara kebetulan rasa sakitnya di area kepala.

"Terus gara-gara apa?"

"Ibu gua, Bim. Kayanya dia tau deh sama rencana kita."

"Waduh. Bahaya dong. Lu kalau gak berangkat ke pesantren, ancamannya dikeluarin dari sekolah loh, Dan," ucap Reno.

"Pokoknya gua pasti berangkat." Aku bertekad akan tetap pergi ke pesantren, meski ibu melarang.

"Yaudah, mending lu santai-santai aja dulu, Dan. Bacaan lu udah bagus kok, cuman kurang dikit-dikit aja." Handeka menutup Al Quran yang tadi kubaca.

"Ajarin gua aja, Dan!" pinta Agus sembari memegang buku Iqro tiga.

"Males ah! Lu bedain ha, HA sama Kho aja syulit," sahutku seraya menyandarkan punggung ke pagar pembatas gazebo.

________

Waktu menunjukan pukul delapan malam. Kami sudah selesai belajar membaca Al Quran. Kini lanjut bermain game di ponsel sampai pukul sepuluh malam, lalu membubarkan diri.

Di rumah, ibu sudah menungguku di ruang tengah. Dari wajahnya yang ditekuk, aku sudah menduga kalau ia tau tentang kegiatanku malam ini. "Buat apa kamu belajar ngaji, Ai?" tanyanya.

"Berarti bener tadi aku sakit kepala gara-gara ibu," balasku.

"Apa ibu gak kasian anaknya ampir mati?" imbuhku, sedikit melebih-lebihkan.

IBUKU DUKUNWhere stories live. Discover now