Kaki Menempel Tanah

1.1K 138 12
                                    

"Bukannya bulan puasa gak ada setan?" Guntur melontarkan pertanyaan yang sama denganku.

"Harusnya sih gitu, Gun. Gak tau nih si Idan matanya konslet," sahut Handeka.

"Dah, gak usah dibahas lagi. Yuk, sahur!" Aku mengajak yang lain pergi ke kantin. Sesampainya di sana, belum begitu ramai, karena waktu masih menunjukan pukul 03:17. Kantinnya memiliki model parasmanan. Aku berjalan mendekati meja panjang yang di atasnya berjajar berbagai menu makanan.

"Ini bayarnya gimana?" tanya Bimo, karena  memang tidak terlihat ada kasir atau orang yang menjaga.

"Langsung ambil aja, Dan." Pak Dimas muncul dari ruangan di dekat kantin.

"Wah, mantap!" Aku langsung mengambil piring dan menyendok nasi. Kemudian mengambil sedikit-sedikit menu yang tersedia. Itung-itung mencoba semua menu di pesantren.

Setelah semua menu tersedia di piring, aku mencari tempat duduk. Tempat duduk yang paling dekat dengan pintu. Para santri  mulai ke luar dari kamarnya. Antrian panjangan tak terelakan. "Untung kita bangun duluan," ucap Handeka.

"Berkat Idan dan Kuntilanaknya," sahut Bimo.

"Kuntilanak apa?" tanya Pak Dimas yang duduk tak jauh meja kami.

Sontak aku melotot pada Bimo, karena mulutnya tidak dijaga. "Saya abis mimpi dikejar Kuntilanak, Pak," ucapku. Ya, memang kenyataannya seperti itu.

"Lain kali kalau tidur jangan lupa baca doa."

"Idan mana hapal doa tidur, Pak," sahut Agus. Reflek aku menginjak kaki Agus yang duduk di sebrang.

"Nah, doa tidur apaan, Dan?" tanya Pak Dimas.

Aku berpikir sejenak. "Allahuma," bisik Handeka.

"Allahuma innii a'uudzu bika ...." Aku mengikuti setiap perkataan Handeka.

"Itu doa masuk ke kamar mandi, Aidan." Pak Dimas memotong ucapanku.

Aku melirik tajam pada Handeka yang sedang tersenyum lebar. "Awas lu, Deka!" bisikku.

"Wah kamu musti masuk kelas pesantren anak-anak dulu, Dan," ucap Pak Dimas.

"Harusnya si Agus, Pak, yang masuk pesantren anak-anak. Dia baru sampe Iqro tiga." Aku tak mau diledek sendirian.

Pak Dimas menoleh ke Agus, "Emang kamu gak pernah belajar baca Al Quran?"

"Pernah waktu kecil, Pak," sahut Agus.

"Selama seminggu di sini, manfaatin baik-baik. Belajar lebih banyak ilmu agama. Biar pas selesai nanti, bisa jadi pribadi lebih baik." Pak Dimas memberi nasihat.

"Iya, Pak," sahut Kami, kompak.

Setelah santap sahur, kami kembali ke kamar, menunggu waktu subuh tiba. "Eh lu bawa sikat gigi dua, gak?" tanyaku, karena lupa membawa peralatan mandi.

"Gak ada kerjaan amat bawa sikat gigi dua, Dan," sahut Bimo.

"Anduk? Ada yang bawa dua, gak?" Aku pun lupa membawa handuk.

"Ya, kagak. Lu kalau mau mandi pake anduk gua aja."

Azan subuh berkumandang, kami pun berangkat ke masjid dengan pakaian terbaik. Celana panjang dan kaos oblong. Berbeda sekali dengan santri lain yang menggunakan sarung dan baju koko.

"Hiy! Airnya dinging banget," ucapku saat mengambil wudu. Selesai wudu, aku bergabung dengan santri yang sudah berjejer rapi. Seperti biasa, mengambil posisi paling belakang.

Setelah salat subuh, kami mengikuti Kuliah Subuh. Materinya tentang akhlak. Sebuah bentuk sindirin untuk kami yang memiliki akhlak tidak baik. Kuliah subuh ditutup dengan membaca Al Quran sampai waktu dhuha tiba.

IBUKU DUKUNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang