Pak RT

1.4K 167 24
                                    

Aku berlari ke luar kamar dengan memasang wajah panik. Berpapasan dengan Tante Ina yang sedang membawa dua gelas air, "Ada apa, Dan?" tanyanya, bingung.

"Bimo kesurupan lagi, Tan."

"Ya Allah. Cepet panggil Pak Ustadnya!"

Aku berlari ke luar rumah. Beruntung Pak Ustad belum pergi terlalu jauh. "Pak Ustad!" panggilku, membuat beberapa warga yang masih ada di depan rumah menatapku. Aku berlari menyusulnya, "Pak Ustad!"

Pak Ustad menoleh dan menghentikan langkah, "Ada apa lagi?"

"Bimo kesurupan lagi! Sekarang ngamuk-ngamuk gitu."

"Kan udah saya bilang jangan suka pakai begituan," balasnya, lalu kami berjalan cepat ke rumah Bimo.

"Kayanya si Setan ngamuk gara-gara Pak Ustad mau bakar jimatnya," ucapku.

"Begitulah setan, hobinya mengancam orang-orang yang lemah iman."

Tante Ina menghampiri saat kami melangkah ke teras, "Kesurupannya semakin parah, Pak Ustad," ucapnya, panik.

Kami masuk ke kamar. Terlihat Bimo sedang berguling-guling di lantai sembari menggeram. Ia menatap Pak Ustad sambil melotot. Aku hanya bisa tersenyum melihat aktingnya yang begitu meyakinkan. Pak Ustad mulai merapal doa.

"HAHAHAHA!" Bimo tertawa, kemudian meraih tas pink di dekatnya dan melemparnya ke arah Pak Ustad. "Berisik!" hardiknya.

Aku tercengang melihat aksi Bimo. Berharap ia tidak benar-benar kesurupan. "Jangan berdiri di sana aja, coba pegangin temennya!" ucap Pak Ustad.

Kudekap tubuh Bimo dengan erat. Eh ... ia malah menyikut wajahku. "Aw, sakit, Bim!" Spontan aku membalas dengan sebuah cubitan kencang di perutnya.

Bimo menjerit kesakitan, "Kok lu nyubit gua?" bisiknya.

"Lu duluan!" balasku dengan suara pelan.

"Dia bilang apa?" tanya Pak Ustad.

"Katanya minta jimatnya dibalikin," sahutku.

"Saya gak bakal balikin."

Bimo mengamuk. "Tuhkan, jadi ngamuk lagi," ucapku.

"Cepet ambil jimatnya! Gua capek!" bisik Bimo.

"Pak Ustad, coba diusap mukanya pake aer. Biasanya saya liat di yutup sih begitu," ucapku sembari menahan tubuh Bimo yang bergerak tak beraturan. "Ayo, Pak Ustad! Saya udah gak kuat nahannya."

Pak Ustad ke luar kamar, lalu kembali dengan membawa segelas air. Kemudian ia merapal doa dan ditiupkan ke permukaan air. Air tersebut diusapkan ke wajah Bimo.

"Teriak panas," bisikku, tepat di samping telinganya.

"Panas! Panas!" Bimo berteriak.

"Coba disiram aja, Pak Ustad," pintaku, yang disambut dengan sikutan maut Bimo ke arah perutku.

Byur!

Pak Ustad menyiram wajah Bimo lalu mememang kepalanya sambil membaca doa. "Argh! Panas!" teriak Bimo.

Ini kesempatan emas! Aku bergerak, duduk di samping Pak Ustad. Dengan cepat tangan ini merogoh kantung baju kokonya. Berhasil! Jimat itu berhasil kudapatkan. Aku langsung memberi kode pada Bimo untuk menghentikan aktingnya.

Bimo berpura-pura lemas. "Nyebut, Bim," ucap Pak Ustad.

"But ... but," ucap Bimo dengan napas terengah-engah.

"Bukan itu! Istighfar!"

"Astaghfirullah."

"Alhamdulillah. Besok-besok, jangan pernah pake jimat lagi, ya," pesan Pak Ustad.

IBUKU DUKUNDove le storie prendono vita. Scoprilo ora