Rukiyah

1K 143 3
                                    

Setelah salat ashar berjamaah, aku dan teman-teman lain ikut kajian sebentar. Setelah kajian, aku kembali ke kamar untuk beristirahat. "Dua jam lagi berasa lama banget, ya." Tingkahku seperti anak kecil yang baru pertama kali puasa.

"Maen Mobil Lejen dulu, yuk!" ajak Agus.

"Lu aja deh, gua masih lemes," sahutku.

"Maen, yuk, Bim!" Agus mengajak Bimo.

"Skip, ah! Gua takut emosi terus keluar kata-kata mutiara kalau maen sama lu." Bimo pun menolak.

"Yaudah deh, gua maen sendiri aja." Agus duduk di sudut kamar dan membuka ponselnya.

"Eh, Dan. Nyokap lu gak bakal dateng ke sini, kan?" tanya Bimo.

"Kagak akan berani dia." Selama ini ibu selalu menjaga rahasia agar kiprahnya sebagai dukun tidak diketahui banyak orang. Jadi, datang ke pesantren adalah pilihan yang buruk baginya.

Waktu berlalu begitu cepat, tak terasa sebentar lagi sudah memasuki waktu magrib. Kami diminta pergi ke masjid untuk berbuka bersama. "Ya Allah, gak nyangka bisa kuat puasanya," seru Agus.

"Sadar diri, Gus. Lu tuh udah bangkotan!" sahut Handeka.

"Yang bangkotan tuh si Idan. Jalannya udah lemes kaya gak ada semangat idup."

"Gus, abis buka puasa kita duel di lapangan belakang!" sahutku.

"Ampun, Dan!"

Sesampainya di masjid, terlihat takjil yang sudah disusun rapi. Kami memilih tempat duduk. "Lumayan dapet kolek candil," ucap Handeka.

"Itu biji salak, Dek!" sahut Agus.

"Sama aja, Gus. Cuman beda nama doang," balas Bimo.

"Beda!"

"Astaga, masalah beginian aja didebatin," ucapku.

"Gua sebagai anak penjual kue kudu ngejelasin dulu bedanya."

Aku baru ingat ibunya Agus memiliki toko kue. "Yaudah buruan jelasin, biar masalahnya kelar. Bentar lagi mau buka."

"Gini, biji salak itu terbuat dari ubi sama tepung, kalau candil itu tepung doang," jelas Agus.

"Ah, di rumah gua nyebutnya tetep candil, Gus," sahut Handeka.

"Nah itu kudu diluruskan."

"Emang lu yakin ini terbuat dari ubi?" tanya Bimo.

"Kayanya sih begitu." Agus tampak ragu.

"Lu cobain dulu! Baru komentar."

"Ya sabar, bentaran juga gua coba."

"Berarti bener kata Handeka, ini candil." Bimo memanas-manasi.

"Biji salak!" Agus tetap ngotot.

"Udah sih, lima menit lagi juga bakal tau mana yang bener." Aku berusaha menengahi perdebatan unfaedah ini.

Azan magrib berkumandang. Agus dengan semangat membuka penutup gelas plastik tempat kolak. "Tuhkan bener, biji salak!" serunya.

"Dah clear ya. Gak perlu dibahas lagi masalah percandilan," ucapku.

"Siap, komandan!" sahut Handeka.

"Eh, Dek. Kalau abis makan wudhu lagi, gak?" tanya Bimo.

"Ya gak usah, soalnya makan dan minum gak membatalkan wudhu," balas Handeka.

"Oh gitu. Sip-sip."

Setelah perut ini terisi kolak biji salak dan gorengan, aku menjadi lebih bertenaga. Tidak lagi lemas seperti tadi. Suara iqamat terdengar, bergegas kami bangkit dan bergabung dengan santri lain untuk salat magrib.

IBUKU DUKUNWhere stories live. Discover now