Perdebatan

1K 140 5
                                    

Aku tak pergi ke mana-mana, menunggu di luar ruangan. Selang setengah jam kemudian, membuka pintu sedikit dan mengintip ke dalam. "Ngapain masih di sini?" Ternyata ibu melihatku.

"Ya, nungguin ibu!" sahutku, lalu masuk.

"Ibu gak butuh kamu, Ai."

"Yakin? Ibu gak kangen sama aku?"

"Gak! Ibu malah udah anggap kamu gak ada."

"Ugh!" Aku memegang dada sambil tersenyum. "Sakit banget rasanya dibuang ibu sendiri."

"Ibu gak bercanda, Ai."

"Aku juga gak bercanda. Pas tadi ibu bilang anak durhaka, aku sempet nangis loh, Bu."

"Bodo amat. Mau kamu mati juga ibu gak peduli!" Ibu memalingkan wajahnya.

"Astaghfirullah. Istighfar, Bu," balasku.

"Gak usah sok ngajarin orang, Ai!" Ibu kembali menoleh padaku.

"Kalau aku Allah ngabulin omongan ibu tadi gimana? Ibu mau hidup sendirian?"

"Gak apa-apa ibu hidup sendirian juga. Punya anak juga percuma, susah diatur."

Meski hati ini sakit mendengar ucapannya, tapi berusaha untuk menahan. Aku yakin semua ucapannya itu karena masih marah padaku. Kini hanya mencari cara untuk membuat emosinya reda.

Aku duduk di kursi, "Kenapa badan ibu lebam-lebam gitu?" tanyaku.

"Ini gara-gara kamu!" sahutnya.

"Loh, aku kan di pesantren."

"Ya, gara-gara kamu di pesantren!"

"Ibu dipukulin si Kuntilanak Jumbo sama Genderuwo?" tanyaku, berusaha mencairkan suasana.

Ibu malah melotot padaku, "Kamu jangan kurang ajar sama mereka!"

"Mereka yang kurang ajar. Makanya puas banget liat mereka gosong."

"Kamu ini gak bersyukur, Ai. Selama ini mereka yang ngelindungi kamu. Ngasih makan kamu."

"Ya, aku terimakasih banget sama jasa mereka selama ini. Tapi, sekarang gak lagi, Bu. Aku pengen hidup dari uang halal."

"Jangan sok suci, Ai. Kamu mau ngarepin apa dari uang halal?"

"Keberkahaan, Bu."

"Keberkahaan gak bikin kamu kenyang. Gak bakal bisa beli barang-barang juga."

"Pasti bisa, Bu. Rezeki udah ada yang ngantur."

"Jangan kemakan omongan Ustad atau penceramah. Mereka gak tau gimana susahnya kita dulu. Mereka juga gak nolongin kita."

"Yaudah, terserah ibu aja. Tapi aku boleh minta satu hal sama ibu?"

"Apa?"

"Jangan larang aku ibadah di rumah lagi."

"Kalau kamu mau ibadah. Jangan di rumah. Ke masjid aja!"

"Oke." Setidaknya ada sedikit perubahan darinya.

"Ibu cuman mau ingetin kamu, Ai. Sekarang ibu udah lepas tangan. Kalau kamu diserang Jin Ilmu Hitam, ibu udah gak bisa nolongin lagi. Kamu hadepin aja sendiri," pesannya.

"Aku sanggup kok ngelawan mereka, jadi ibu gak usah takut. Sekarang aku mau pulang. Mana kunci rumah?"

"Ada di Pak RT."

"Oke. Aku pulang dulu. Assalamualaikum."

Ibu tak membalas salamku. Sontak aku berbalik badan dan pergi dari kamar ini.

___________

Aku pergi ke rumah Pak RT. Kebetulan ia sedang berada di warungnya. "Assalamualaikum," sapaku. Bukannya membalas salamku, ia malah memasang wajah kaget. "Ada apa, Pak RT?"

"Buburnya belum siap," balasnya, membuatku bingung.

"Saya lagi puasa."

"Oh iya, abis dari pesantren. Sampe ibunya sakit aja gak pulang," sindirnya.

"Makasih udah bawa ibu ke rumah sakit." Meskipun menyebalkan, ia cukup berjasa akhir-akhir ini. Berjasa menolong ibu dan juga mengantarku kabur dari rumah.

"Ya, udah jengkuk ibunya belum? Kasian sendirian doang di rumah sakit."

"Barusan abis dari sana."

"Terus ke sini mau ngapain?"

"Kata ibu, kunci rumah dititipin sama Pak RT."

"Sini ikut!" Pak RT mengajakku masuk rumahnya, lalu memintaku duduk di ruang tamu.

"Kuncinya mana, Pak RT?" tanyaku, saat ia malah ikut duduk. Tidak mengambil kunci.

"Sebentar saya mau ngomong sama kamu."

"Ngomongin apa ya, Pak?" Jangan bilang ia akan membicarakan si Otong.

"Kalau dibilangin sama orang tua itu nurut. Apalagi ibu kamu itu orang tua satu-satunya. Gara-gara gak nurut, liat akibatnya. Kemaren kalau gak saya bawa ke rumah sakit, mungkin ibu kamu udah meninggal," ucap Pak RT.

"Gak semua perintah orang tua itu harus diturutin Pak RT," balasku.

"Jadi anak itu harus tau diri. Udah dibiayain tapi masih ngelawan."

"Kalau orang tuanya salah ya harus dilawan Pak RT."

"Jangan munafik, Ai. Selama ini kamu seneng-seneng aja makan uang dari hasil begituan."

"Ya, sekarang sih gak lagi, Pak RT. Boleh dong orang berubah jadi lebih baik. Apalagi di bulan yang baik pula."

"Itu sih terserah kamu. Pokok kalau sampe saya kena imbasnya juga. Awas aja!" ancamnya.

"Tenang, saya gak bakal makan di tempat Pak RT lagi. Lagian buburnya juga kagak enak. Kebantu sama si Otong."

Wajahnya berubah kesal, kemudian ia bangkit dan pergi ke dalam. "Nih kuncinya! Awas aja kalau saya liat kamu makan di sini lagi!" ucapnya, sambil melempar kunci.

Aku menghela napas. Beruntung ia bertemu denganku yang sekarang. Kalau yang kemarin bisa babak belur. "Makasih, Pak RT," ucapku, lalu pergi.

Aku sungguh terkejut saat melihat kondisi rumah. Ruang tengah begitu berantakan. Motor ibu sudah dalam posisi tergeletak di lantai. Sementara motorku menimpa meja, hingga kacanya pecah.

Aku melangkah ke kamar. Ya Allah. Hanya bisa mengelus dada saat melihat semua barangku berantakan. Baju-baju tergeletak di dekat lemari. Buku-buku pelajar sudah dalam keadaan sobek.

Sebenarnya, apa yang terjadi di rumah ini? Apa ini ulah ibu atau Jin peliharaannya?

Sambil menunggu waktu dzuhur aku merapikan semuanya. Mulai dari ruang tamu sampai kamar. Ternyata dapur pun tak kalah berantakan. Banyak pecahan piring di lantai. Sepertinya memang terjadi perang besar di rumah ini.

Azan dzuhur berkumandang, tapi aku baru selesai merapikan ruang tengah. "Kamar nanti aja deh," gumamku, lalu bersiap-siap pergi ke masjid. Kebiasaan salat tepat waktu di pesantren masih terbawa.

Aku mengganti pakaian dengan baju koko yang ternyata masih tersimpan rapi di lemari. Brug! Terdengar suara pintu dibanting. Aku mengintip ke luar kamar. Pintu depan sudah tertutup rapat.

Prang!

Kini suara dari dapur. Kalau sudah begini, memang ada yang tidak beres dengan rumah ini. Namun, aku memilih untuk tidak memerdulikam mereka. Lebih baik pergi ke masjid untuk salat dzuhur berjamaah.

BERSAMBUNG

IBUKU DUKUNWhere stories live. Discover now